I just want to pause whatever I am doing for one minute, everyday, and remember death! It will happen to me and all of us one day, I ask myself am I ready to meet my Lord, Allah, the Almighty? What have I prepared and sent forth?

Selasa, 24 Maret 2015

Sejak...


Sejak kapan? Sejak ...
“Dir, liat deh tuh cowok. Cakep banget ya?” Dinda menunjuk pada satu anak ekonomi yang sedang duduk-duduk di tangga sambil memperhatikan telepon genggamnya. Memang sih dia ganteng, tapi ya kan banyak juga di sini yang ganteng. So, what?
“Hmmm... Biasa aja sih!” aku kembali menunduk, melanjutkan bacaanku yang tertunda sedangkan Dinda masih saja senyam-senyum sendiri sambil menatap lelaki itu dari jauh. Aku diam saja. Sayang, aku memang tak sama dengan Dinda.

Sejak kapan? Sejak ...
“Diraaaaaa!!!” kutoleh asal suara itu. Ada Dinda yang berjalan tergesa ke arahku. “Dir, kok kamu nggak bilang-bilang sih? Gitu yaaa sekarang pake rahasia-rahasiaan.” Aku diam, takjub, tergtegun, bingung. Tak ada rahasia kecuali satu hal... “Rahasia apaan?” aku kembali berjalan ke kelas. Ku lihat pergelangan tanganku. 10 menit lagi. “Kamu pacaran kan sama Angga?” Dinda mendahuluiku masuk ke kelas begitu sampai di ruang 305, mengambil posisi duduk di baris kedua sebelah kanan, dekat jendela.
Ckck, kabar apa pula ini. “Sotoy! Nggak usah ngigau pagi-pagi!” aku meletakkan tasku di atas meja. Mengeluarkan buku catatan dan perlatan tulisku. Beberapa mahasiswa sudah mulai masuk. Menyapaku yang kubalas dengan lambaian tangan dan senyum. “Kok sotoy sih? Kok ngigau sih? Iiiihhhhh! Tadi si Angga bilang sendiri kok kalo dia nembak kamu,” rajuknya sembari menarik lenganku agar memperhatikannya. Rasanya ingin sekali aku mencubit pipinya. “Emang burung ditembak,” aku tertawa. “Ngigau kali si Angga. Lain kali kalo ketemu dia, bilang kalo mau ngigau tidur aja di rumah, mimpi sana.” Entah sudah yang ke berapa kalinya beredar gosip seperti ini. Dan anehnya Dinda selalu saja percaya. Dinda... Dinda.. Kamu tahu bagaimana hatiku saat ini. Dan seharusnya kamu paham bahwa usaha mereka semua tak akan berhasil.

Sejak kapan? Sejak ...
Aku menaiki angkot yang berhenti di depanku. Duduk di pojok belakang dan memandang keluar jendela. Menghindari tatapan orang-orang. Memperhatikan setiap mobil yang melwati angkot yang sedan kunaiki. Memperhatikan setiap motor yang melaju entah kencang, zig-zag. Aku berusaha mengingat sesuatu. Atau mungkin melupakan sesuatu. Bukan. Bukan sesuatu, tapi  semua hal yang pernah terjadi di jalanan ini. “Neng, turun mana?” aku menoleh, “Saya ikut Bapak berputar aja sampai nanti tujuan terminal akhir, Pak.” Si Bapak bingung. Tapi tetap melajukan kendaraannya. Aku kembali terpekur memandang jalanan. Mengusap setetes air yang ada di pipi.

Sejak kapan? Sejak...
 Aku duduk diam di depan laptopku. Tanganku memegang mouse, scroll up-down jendela pada laptop. Membacanya berulang-ulang. Tak percaya. Membacanya lagi. Sakit. Marah. Kecewa. Tanganku mengarahkan kursor ke kotak ‘reply’. Klik. Aku mengetikan beberapa kata. Menghapusnya. Mengetik lagi. Terus. Terus. Banyak pertanyaan di kolom jawaban itu. Banyak tuntutan. Aku membacanya sekali lagi. Meyakinkan diriku lagi. Lalu kutekan ‘send’.  Aku berdiri, berjalan ke tempat tidur. Aku merebahkan diriku. Merasakan sesak yang tiba-tiba kambuh. Aku menarik nafas, mengatur nafasku. Perlahan. Kurasakan mataku penuh tapi tak ada yang tumpah. Aku mengulang-ulang lagi setiap kata yang kuingat, Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku.

Sejak kapan? Sejak ...
“Tunggu ya... Aku akan wujudkan semua mimpi kamu, Sayang. Mimpi kita. Tunggu aku... Akan aku selesaikan semua yang ada di sini. Baik-baik ya kamu di sana. Cuman kamu yang bisa menenangkan aku. Love you, Dira sayang,” aku masih menempelkan teleopn selulerku lekat di telinga, aku tersenyum. “Iyaaaa. Baik-baik juga ya di sana. Semangat yaaa.. Love you, too, Beb,” aku menekan tombol merah, mengakhiri percakapan. Aku menarik nafas dalam. Mimpi itu... Aku tersenyum.

Sejak saat itu aku tahu...
“Dinda, please, jangan menatapku seperti itu,” aku memohon pada Dinda yang mencoba berjalan menjauh. Dia masih menatapku dengan pandangan takut, tak percaya, kecewa, entahlah. “Please, Din... Aku juga nggak bermaksud membuatmu takut. Sungguh. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku pun tak pernah menginginkan hal ini. Tapi aku tak mampu mengontrolnya, Din. Aku hanya ingin bilang bahwa aku mencintaimu. Cukup!” aku mencoba mendekat. Tapi Dinda memberikan isyarat padaku untuk berhenti. Aku berhenti. Dinda, maafin aku. “Dir, aku bingung. Sungguh. Kamu teman baikku. Aku tak mungkin mencintaimu seperti pacar. Kita sama-sama perempuan, Dir!” dan Dinda pun berjalan semakin jauh.

Sabtu, 21 Maret 2015

Titik-titk Balik: Berani Mengaku atau Terus Menyangkal



Titik balik... Turning point... Sebuah masa dimana kita berubah entah dari sekedar pola fikir maupun perubahan gaya hidup dan sebagainya. Jika susah membayangkan titik balik kehidupan, anggaplah kamu sedang bepergian sendiri ke luar kota dengan mengendarai motor atau mengemudikan mobilmu sendirian. Ketika kamu seharusnya berbelok, kamu malah berjalan lurus. Lalu di satu titik, kamu menyadari bahwa kamu sudah berjalan terlalu jauh dan kemudian kamu mencari U-Turn dan akhirnya kamu memutar balik untuk kembali ke jalan yang benar dan melanjutkan perjalananmu menuju ke tujuanmu.

Lalu di mana titik balik dalam kehidupan saya? Belum lama terjadi. Sekitar awal bulan September tahun lalu ketika saya berkenalan dengan seseorang yang datang jauh dari negara lain. Sebuah skenario Tuhan yang indah untuk kami, setidaknya untuk saya. Karena perkenalan ini menjadi awal titik balik kedua saya dan saya anggap sebagai titik balik terbesar yang pernah saya alami hingga saat ini.

Bermula dari kebiasaan saya menemani dia sebagai "host teacher" untuk seorang "native" yang sedang menjadi volunteer di sekolah tempat saya mengajar, kami akhirnya pun sering banyak bercerita. Hingga akhirnya saya menceritakan kisah kelam saya yang sudah pernah saya ceritakan pada saat sharing #MengenalLebihDekat di grup Whatsapp KBI awal tahun 2014 lalu (ini merupakan titik balik pertama saya, sebenarnya, karena ini adalah awal mula saya berani mengakui pada diri saya sendiri dan pada orang lain tentang apa yang pernah saya alami). Dan kemudian dia, Sara, menawarkan dirinya untuk membantu saya "menyembuhkan diri" saya. Dia menawarkan kepada saya untuk berubah. Tidak memaksa. Dia mengatakan saya harus mau berubah karena saya memilih untuk berubah. Dan saya menerimanya. Dan dari sanalah semua bermula.

Melakukan diskusi sepulang sekolah di sebuah cafe, dia meminta saya untuk menuliskan sederetan keinginan saya. Saya harus berdialog dengan diri saya sendiri di hadapannya. Dari apa yang sudah saya tuliskan, kami mengevaluasinya bersama-sama. Menganalisa satu persatu dan menanyai saya apa ini yang betul-betul saya inginkan, apa benar itu yang saya harapkan. Pertemuan-pertemuan itu rutin kami lakukan selama satu setengah bulan.

Kemudian di satu titik di mana Sara selesai menganalisi satu kesimpulan. Dia dengan penuh perhatian mengatakan bahwa saya tak mengenal Tuhan, bahwa saya mencoba lari dari Tuhan, bahwa saya tak mencintai Tuhan, bahwa saya marah dan kecewa pada Tuhan! Apa yang kemudian saya rasakan? Apa yang kemudian saya katakan pada diri saya dan kepadanya? Saya berkata jujur (dan baru saat itu saya benar-benar bertanya pada diri saya apa yang hati saya rasakan) apa yang dia simpulkan memang benar.

Saya marah pada Tuhan karena kejadian kelam itu, saya marah pada Tuhan karena meninggalnya bapak, saya marah pada Tuhan karena impian-impian saya yang tidak terwujud! Lalu saya lari dari Tuhan dan saya tidak mengakui bahwa saya marah kepada Tuhan! Saya menyangkal seumur hidup saya. Saya mencoba lari dari kasih sayang Tuhan dan mencari kasih sayang dari hal-hal yang fana. Lalu saya ketakutan dengan hal-hal yang seharusnya tidak perlu ditakuti seolah-olah Tuhan tidak ada dan tidak akan membantu saya. Dan semua hal itu Sara katakan kepada saya. Lalu apa yang saya rasakan, jujur yang saya rasakan pertama kalinya adalah malu. Malu sekali kepada Sara, bukan kepada Tuhan (karena saya belum sampai pada level itu). Bayangkan saja ketika kamu berdiri di depan orang yang baru kamu kenal beberapa minggu lalu tiba-tiba orang itu menelanjangi kamu hingga tak tersisa apapun!

Setelah itu, perlahan, berproses dari awal untuk mulai melakukan meditasi dan bertanya pada diri sendiri, belajar berdialog dengan Tuhan, mempelajari tentang Tuhan, mencari tahu tentang Tuhan, mengenal kembali Tuhan. Bahkan dia pun mengajari saya untuk memaafkan diri saya, menerima diri saya, menghargai diri saya dan mencintai diri saya sebagai ciptaan-Nya yang indah. Karena apapun yang Dia ciptakan selalu indah, dan Dia Maha Indah yang mencintai keindahan. Dia merekomendasikan banyak buku-buku ketuhanan selain juga menganjurkan saya untuk belajar melihat, mendengar, dan merasakan kehadiran Tuhan di sekitar saya. Sungguh tak mudah. Tapi setidaknya kini saya dalam proses belajar semua hal tersebut. Seperti bayi yang baru belajar menyanggah badannya dengan kedua tangan sendiri sebelum akhirnya bisa merangkak. Dan hal yang paling bisa saya tunjukkin saat ini adalah ketika saya bilang saya sudah mulai sedikit berubah adalah: saya sudah tidak menghindari yang namanya make-up! Hahahahaha! Karena selama 26 tahun saya hidup saya paling "alergi" dengan make up dan segala hal yang berhubungan dengan "kecantikan" karena saya merasa tidak cantik dan kecantikan hanya mengundang kejahatan! Bahkan Sara sampai rela memberi saya kursus 2 jam memakai make up demi bisa melihat saya dandan dan menghabiskan 3 jam sebelumnya untuk belanja peralatan make-up! :)) Yah, tapi tetap saya tak seahli Kak Nia sih dalam hal make-up, apalagi mode pakaian. Kalah jauh euy! :))

Taken from here
Nah, itu pengalaman saya. Setidaknya kini saya tahu bahwa segala sesuatu dalam hidup saya, saya sendirilah yang menentukan. Bukan orang lain. Jadi jangan pernah mengkambinghitamkan siapapun jika ada kegagalan dalam hidup saya. "It's always a choice!" dan setiap orang yang hadir di hidup saya, pasti akan mengjarkan sesuatu pada saya. Dan Tuhan selalu mencintai saya, maka saya harus menghargai dan mencintai diri saya, karena saya pun ciptaan-Nya. Semua masih dalam taraf belajar dan semoga saya bisa belajar dengan benar hingga tuntas dan saya bisa mencapai tujuan hidup saya.

Buat Kak Nia, makasih banyak ya atas omelan-omelannya... Bahagia dan sebuah kebanggaan dan keberuntungan bisa mengenalmu, Kak... Semoga ada kesempatan untuk bisa bertemu kamu lagi.. :))

Buat Emips, saya bangga sekali melihat kegigihanmu. Di usiamu yang sekarang, kamu bisa berfikir sangat kritis (kadang membuat saya iri dan ngeri juga hehehehe...) which is very good! Jadi dokter yang baik yaaa... Pertahankan prinsip bahwa menjadi dokter bukan untuk mencari uang dan menjadi kaya, tapi untuk menjadi bermanfaat bagi banyak orang. Semoga Allah selalu memberikan jalan terbaik untuk kamu. Semoga saya punya kesempatan untuk bertemu kamu juga. :)


Tulisan ini diikutsetakankan di dalam #MGANia bulan Maret 2015

Senin, 13 Oktober 2014

Jumatulis Season 2 - 03 Pesona - Luruh pada Pesonanya

Pernahkah kamu berfikir kenapa kamu lahir sebagai dirimu saat ini? Pernahkah kamu bertanya pada-Nya untuk apa kamu diciptakan? Lalu, pernah jugakah kamu mencoba menelisik ke dalam hatimu tentang siapa dirimu dan apa yang sudah kamu lakukan? Dan aku hanya mampu menggeleng dan menunduk dalam ketika semua pertanyaan itu dia lontarkan.

Dia, orang yang tak pernah sekalipun aku bayangkan rupa dan kehadirannya seumur hidupku tiba-tiba masuk begitu saja ke dalam kehidupanku. Lalu, dalam hitungan hari, dia mengobrak-abrik semua pertahananku hingga aku tak lagi punya tameng apapun untuk berlindung.

"Mau aku bantu?" tawarnya kala itu. Itulah saat pertama kalinya dia "mengendus" sebuah rahasia besar masa laluku. Aku terdiam, masih meragu. Bukan ragu karena tak mempercayainya, tapi aku ragu bahwa dia mau dan bisa memahamiku. Namun saat ku pandangi wajahnya, keraguanku luruh. Seperti ada pesona dalam dirinya yang meyakinkanku bahwa dialah penyelamatku. Dan mengalirlah segala rahasia yang selama ini aku pendam.

Beberapa hari setelahnya, "kau percaya Tuhan?" dia kembali menyergapku dengan pertanyaan yang menohok. Aku terdiam lalu mengangguk. Sayang, dia melihat celah keraguan dalam hatiku. Dia hanya diam dan menatapku lekat, kemudian berkata, "kau bahkan tak mengenal-Nya! Bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa kau mempercayainya?" lalu dia memelukku saat aku tergugu mengakuinya.

Ya, aku tak mengenal Tuhan. Tak juga merasakan pesona dan cinta-Nya yang kata banyak orang begitu hebat! Mana mungkin aku bisa mengenalnya jika untuk sekedar tahu tentang-Nya saja aku enggan. Aku terus berlari, berlari menghindari segala hal yang mengenalkanku kepada-Nya. Hingga akhirnya kini, aku menyadari bahwa aku tak akan pernah bisa berlari dari-Nya. Selama ini aku hanya menyangkal keberadaan-Nya. Dan dia lah orang yang membuatku berani mengakui bahwa selama ini aku begitu rapuh karena aku tak pernah memiliki tonggak untukku berdiri tegak.

Dia, yang dengan segala pesona dalam dirinya, telah mampu melepaskan topeng yang menyelubungiku selama ini. Padamu, aku luruh... Padamu, aku berhutang akhirat... Padamu semua doa ku tertuju... Terima kasih, sayang...




Jumat, 03 Oktober 2014

Jumatulis Season 2 - 02 Hasrat - Si Pesimis

"Kau hendak membicarakan hasrat kepadaku?! Bah!!! Tau apa kau tentang hasrat! Itu semua hanya omong kosong belaka. Mana bukti hasrat pernah ada? Pernah kau lihat buktinya? Tak pernah ada! Huh! Yang ada di otakmu selama ini hanya lari dan lari!"

Entah apa yang membuatmu kembali berfikir tentang hasrat setelah puluhan tahun kau hidup tanpanya. Siapa yang mempengaruhimu? Coba katakan padaku. Aku yakin sekali bahwa kau tak serta-merta mengungkit tentang hasrat jika tak ada yang mengusikmu tentangnya. Iya kan? Aku begitu mengenalmu, Kawan. Karena kita telah hidup bersama sekian tahun lamanya.

Kau dan hasrat bagaikan kutub utara dan selatan. Tak pernah berjalan bersama. Selalu saling lari dan mengejar tanpa pernah bertemu! Kau tau kenapa? Karena kau lebih memilihku untuk menemanimu! Hahahaha! Ingat! Kau yang memilihku. Dan sayang sekali, kau memilihku namun aku lebih sering mengendalikanmu daripada yang lain.

Kini kau berbicara tentang hasrat dan optimis. Rupanya kalian semua bersatu untuk menyingkirkanku. Baiklah. Kita lihat saja nanti! Kalian tak akan membuangku jauh dari sisi kalian karena aku selalu ada selagi kau mau menemanimu. Iya. Dan karena aku lah si pesimis! HAHAHAHAHAHAHAHAHA

Minggu, 15 Juni 2014

Sayangku Tak Mengenal Amarah

Semenjak awal aku berusaha keras untuk menjadi tempat kamu untuk pulang. Sangat keras. Aku bahkan mengorbankan tempat pulangku sendiri. Demi kamu. Demi bahagiamu. Demi tawamu. Demi bisa membelai kepalamu dan mengatakan aku sayang kamu.

Bukankah aku pernah bilang bahwa rasa sayangku tak kenal amarah? Seberapa besar kesalahan dan kekecewaan yang kamu beri, seberapa banyak pun kamu melakukannya, aku akan kembali menyerah pada rasa sayang ini. Aku akan menyerah pada rasa sayangku untuk kamu.

Ingatkah kamu ketika janji yang pernah kita ucap untuk saling memeluk dan menggenggam tangan masing-masing di sudut kota indah itu? Aku menantimu bagai orang gila! Aku melanggar janjiku untuk kamu, aku pergi untuk kamu. Sayang aku hanya tujuan kedua buat kamu. Sedangkan kala itu, aku jadikan kamu yang utama dan pertama. Yang terpenting!

Aku kecewa!

Lalu, kamu ragukan aku di saat aku menanti kepulanganmu. Yang aku dapatkan adalah ketidakacuhanmu. Sakit rasanya ketika di lain sisi kamu bilang sayang tapi di sisi lain kamu menganggap aku tak ada.

Aku kecewa!

Ketika kamu kembali, aku menyerah. Aku tak mungkin menolakmu. Tak akan pernah mampu! Kenapa? Karena rasa sayangku tak mengenal dendam.

Sayang, kecewaku sempat membawaku pada satu kesalahan. Mengabaikan kepercayaanmu, dan membuatmu sakit. Maaf, itu memang murni kesalahanku! Aku akui itu.

Dan kamu berlari semakin jauh. Tanpa pernah menoleh ke belakang, ke arahku yang masih menantimu kembali meski itu mustahil. Kamu menganggapku tak pernah ada. Sama sekali tak pernah hadir di hidupmu. Tak berbekas. Sayangnya, sayangku terlanjur menjalar tak terkendali...

Kamu mampu memaafkan temanmu tapi tidak denganku. Mungkin sejak awal kamu memang tak menganggapku layak untuk dekat denganmu seperti orang yang kmu anggap temanmu. Tak layak untuk memperoleh kesempatan lain lagi. Sama sepertimu, awalnya pun aku menganggapmu bukan siapa-siapa. Tapi yang berbeda adalah aku menjadikanmu seseorang yang tak akan pernah aku lupakan dan tolak kehadirannya sampai kapanpun. Karena sayangku tak mengenal amarah.

Jumat, 13 Juni 2014

Jumatulis #13 Ikan-Senja-Terumbu-Diversifikasi-Rumput laut ~ Aku Pernah Ada di Sana

Apa yang ada di otakku hanyalah ingatan tentang seberkas sinar pudar matahari yang hampir tenggelam di senja itu. Aku terduduk diam menatap gulungan ombak dan mendengar suara deburannya. Bergemuruh. Aku melumat rumput laut yang ada di genggamanku. Kemudian memendamnya dalam-dalam pada butiran pasir. Aku menyadari bahwa aku kini masih bersembunyi, seperti ikan yang berenang di antara celah terumbu karang agar tak terlihat nelayan yang akan menjualnya pada pengusaha. Pengusaha yang tak pernah peduli pada kelestariannya demi diversifikasi produk hasil laut perusahaannya. Dan aku bersembunyi dari kenyataan yang pahit ini.

Seminggu yang lalu aku berlari meninggalkan kerumunan itu. Membiarkan pipiku basah. Mengacuhkan nyeri pada tumit. Menulikan diri dari suara yang memanggil-manggilku. Segera aku lambaikan tangan ketika kulihat ada taksi. Aku bergegas naik sebelum orang itu mencapaiku. Aku meminta supir itu mengantarku ke tempat ini.

Tak ada yang spesial dari tempat ini. Hanya ada hamparan pasir yang tak putih yang begitu luas. Berdampingan dengan lautan dengan ombak yang tak kecil. Ada kesan mistis di sini, di pantai ini. Tapi entah kenapa aku bisa duduk seharian tanpa melakukan apapun. Hanya memandang matahari yang mengintip malu di balik awan saat fajar tiba hingga ia kembali menyelinap pergi untuk memenuhi tugasnya di belahan lain bumi. Aku tak perlu makan ataupun minum. Aku hanya ingin diam.

Aku tak beranjak selama dua hari. Hanya duduk di tempat yang sama hingga pagi di hari ketiga aku tertarik merasakan dingin air yang melimpah itu. Aku berdiri, mencoba berjalan. Tertatih. Perlahan. Menghampiri air asin itu. Aku terus berjalan. Aku ternyata tak puas hanya merasakan air itu di kakiku. Aku ingin merasakannya menyelimuti tubuhku. Aku terus berjalan lagi. Ada dingin yang menyerang tubuhku. Tapi itu sungguh sensasi yang menyenangkan. Ah, sepertinya akan menyenangkan kalau air ini membungkus kepalaku. Mungkin aku akan mampu menghilangkan kenangannya yang betah bertahan di sana. Lalu aku membenamkannya dalam. Dan semua gelap!

Dan kini, aku kembali duduk di sini. Dengan rasa yang semakin tak terdefinisikan.

Jumat, 06 Juni 2014

Jumatulis #12 Panen-Lumpur-Keringat-Burung-Kemarau ~ Tertekan: Kita

Jika para petani punya masa panen padi atau tanaman lainnya, maka aku pun sedang panen. Iya. Aku memanen kecaman! Itu kata mereka, orang-orang yang berjalan tegap dengan seragam cokelat yang selalu mengantongi senjata itu. Mereka membuatku semakin terlihat sebagai orang yang berkubang lumpur. Lumpur dosa tepatnya. Mereka menatapku, mencaciku yang kini dituntun si seragam cokelat di antara kerumunan penuh keringat ke sebuah ruangan di ujung sana. Si seragam cokelat bilang kalau nanti, setelah aku keluar dari ruangan itu, aku sudah pasti akan dibawa ke ruangan lain yang akan aku tempati selama beberapa musim kemarau. Ruangan terbuka dengan besi-besi yang berjajar rapat seperti sangkar burung. Tapi sayangnya di dalamnya isinya manusia bukan burung.

***

Siang itu, setelah aku berjalan keluar dari ruangan Beti, begitu aku memanggilnya, aku berjalan menghampiri lelaki tambun yang sedang asyik bercumbu di tangga darurat kantor. Dengan tergesa, semua wanita yang sedang mengelilingnya langsung pergi setelah melihatku. Lelaki itu langsung diam, memandangku. Mencoba mengubah ekspresi mukanya yang memerah.

"Semua itu sudah aku perlihatkan pada wanitamu!" Aku mengangsurkan foto yang kubawa tadi. Lalu aku berjalan pergi tanpa menunggu reaksinya. Dari jauh aku sempat mendengarnya berujar marah, "Kamu?!" Lalu terdengar derap langkahnya yang berlari. Aku terus berjalan, memasukkan tangan kiriku ke saku celana, mengambil sebuah tabung plastik kecil. Mengocoknya, mendengar suara butiran-butiran yang saling berbenturan. Lalu melemparnya ke tempat sampah terdekat. Ada lengkung dalam di bibirku saat samar aku mendengar jeritan beberapa orang yang berlarian ke atas. Tak lagi menggunakan mesin kotak yang bergerak lambat.

***

Aku terduduk sendirian di tengah ruangan ini. Ada tiga orang yang memakai jubah hitam duduk di depanku. Ada beberapa orang di belakang. Semuanya terdiam, kadang berbisik lirih. Aku hanya mendengar gumaman tanpa kata yang jelas. Mungkin mereka berbicara dengan sangat lirih. Ada satu orang yang menekan tuts sebuah mesin dengan bunyik tik-tok-tak-kreeekk. Ada beberapa orang lagi di sebelah kanan dan kiri. Tak satupun yang aku kenal. Aku hanya diam. Memandang ke depan.

***

Aku keluar gedung masih dengan senyuman itu. Berjalan ke jalan raya lalu menyetop taksi, meminta supirnya segera memacu gasnya menuju ke sebuah alamat. Tak lama, 15 menit aku telah turun di sebuah rumah tipe 36 di sebuah perumahan yang belum begitu ramai. Aku mengeluarkan sebuah kunci dan membuka pintunya. Aahhh lega sekali sudah berada di rumah ini.

Tak pernah ada yang tahu tentang rumah ini. Aku membelinya sejak beberapa tahun yang lalu. Tak mengisinya dengan perabotan apapun. Hanya kebutuhan sehari-hari. Di sini aku menghabiskan waktunya dengan dia.

Dia, satu-satunya yang tahu tentang rumah ini. Karena di sinilah rahasia kita bertebaran. Ada hari-hari penuh canda di rumah ini. Ada malam-malam yang membara, ada siang-siang yang melenakan bahkan ada pagi-pagi penuh pillow talks.

Seringkali aku dan dia mencuri waktu di antara berkas-berkas kantor yang bertumpuk. Atau mengambil sedikit jeda di antara rapat-rapat. Jika beruntung, akan ada malam hingga pagi yang kita lewatkan bersama ketika kami seharusnya berada di luar kota.

"Beti, harusnya kita bisa bercanda saat ini." Aku meringkuk di atas ranjang kami.

***