Pagi-pagi sekali aku sudah bangun
dan bergegas mandi. Memakai pakaian seperti rutinitas harianku. Tak ada yang
mencolok. Aku membuatnya sewajar mungkin. Tidak menunjukkan bahwa aku tergesa.
Mungkin nanti akan sedikit telat, pikirku. Segera ku sampaikan berita itu
padamu yang sudah menanti di sana sejak adzan subuh berkumandang. Ku lirik
sekali lagi pergelangan tanganku, pas! Ini waktunya pergi. Kucium tangan wanita
yang penuh perjuangan itu, “Berangkat dulu ya, Bu. Tapi nanti aku nggak pulang.
Ada kegiatan. Assalamu’alaikum”. Tak ingin kudengar gerutuan yang semakin
memperlambatku, segera saja ku nyalakan mesin motorku. Kutunggu sebentar, biar
tidak terkesan biasa. Lalu ku pacu si Purpy dengan kecepatan yang lumayan
setelah berjarak 300 meter dari rumahku. Aman… Dan aku tersenyum.
It’s my first time and I don’t know the way to get there! Just gambling!
Aku hanya mengingatnya sekilas dari panduan dari orang-orang yang ku tanya
kemarin. Lurus saja, ikuti jalan itu sampai ada bunderan, jangan berputar.
Lurus sampai kau temukan jembatan layar. Telat! Aku sudah terlanjur berputar!
“Siaaaalll!!!” umpatku. Semakin lama aku menemuimu! Ku pacu lebih cepat hingga
terlewat belokan ke tempatmu menantiku. Rasanya sudah hamper meledak. “Nyasar
lagi!” masih dengan rasa tak sabar kucari tempat untuk berputar. Tak lama
kutemukan dan langsung ku geber gas motorku. Kamu bilang menungguku di
warung. Ku cari tak ketemu. “Mas, dimana
kamu?” kutelpon saja biar cepat. Tak lama kulihat kamu melambaikan tanganmu.
Kamu memakai kaos hitam dari salah salah satu band indie favoritmu. “Mas
Anto?” tanyaku mengulurkan tangan. “Iya.
Ria nggak makan dulu?” tanyanya sambil membalas salam kenalku. Kugelengkan
kepala lalu kuserahkan helm yang sudah kusiapkan, “Nanti saja. Sudah siang.
Lebih cepat lebih baik.”
Kini kami berjalan santai saja.
Dia mengambil alih kemudi si purpy. Aku duduk dibelakang sebagai penunjuk arah
yang sebenarnya juga tak paham arah. Adrenalin ku sudah mulai normal, tak lagi
terpacu seperti tadi pagi. Tak ada rasa takut sedikitpun meski aku baru bertemu
denganmu pagi ini. Kamu masih saja mentertawakanku yang datang menemuimu
memakai seragam kerjaku. “Yeee, aku kabur dari rumah demikamu, Mas” bantahku.
Aku pura-pura berangkat kerja seperti biasa, dengan seragam lengkap agar ibuku
tak curiga. Karena beliau takkan mungkin menizinkanku pergi bersamamu, lelaki
yang baru ku kenal.
Selama perjalanan kita menuju
kota itu, aku hanya menatap ke satu arah. Aku menatap ke depan, ke punggungmu
yang begitu bidang. Ada rasa nyaman disitu. Ada rasa aman yang terhampar. Namun
aku tahu punggung itu bukan untuk kusandari atau kurengkuh. Bukan untuk saat
ini setidaknya. Aku menjaga jarak agar tak lebih jauh, bahkan aku sengaja
mendekat hanya untuk satu maksud. Jika tiba-tiba saja kau menerabas lubang dan
jalanan yang tak rata, maka aku akan dengan mudah memukul punggungmu.
Ya, hanya itu maksudku. Aku ingin
mendekat ke punggungmu bukan agar aku bisa menyadarkan kepaku di punggung
bidangmu. Tapi aku hanya ingin memukulmu ringan saat kamu mulai membuatku
terguncang. Lalu kau akan tertawa. Tawa itu yang selalu kurindukan. Tawa itu yang selalu kunanti. Tawa mu yang
khas yang akan selalu mengingatkanku pada punggungmu yang selalu siap untuk
kusandari dan kupukul pastinya.
FF ini diikutkan dalam program Lelang Buku Bayar Karya dengan judul "Punggung" berhadiah buku #Pindah di grup WA Love Books A Lot ID.