Sejak kapan? Sejak ...
“Dir, liat deh tuh cowok. Cakep banget ya?” Dinda menunjuk
pada satu anak ekonomi yang sedang duduk-duduk di tangga sambil memperhatikan
telepon genggamnya. Memang sih dia
ganteng, tapi ya kan banyak juga di sini yang ganteng. So, what?
“Hmmm... Biasa aja sih!” aku kembali menunduk, melanjutkan
bacaanku yang tertunda sedangkan Dinda masih saja senyam-senyum sendiri sambil
menatap lelaki itu dari jauh. Aku diam saja. Sayang, aku memang tak sama dengan Dinda.
Sejak kapan? Sejak ...
“Diraaaaaa!!!” kutoleh asal suara itu. Ada Dinda yang
berjalan tergesa ke arahku. “Dir, kok kamu nggak bilang-bilang sih? Gitu yaaa
sekarang pake rahasia-rahasiaan.” Aku diam, takjub, tergtegun, bingung. Tak ada rahasia kecuali satu hal... “Rahasia
apaan?” aku kembali berjalan ke kelas. Ku lihat pergelangan tanganku. 10 menit lagi. “Kamu pacaran kan sama
Angga?” Dinda mendahuluiku masuk ke kelas begitu sampai di ruang 305, mengambil
posisi duduk di baris kedua sebelah kanan, dekat jendela.
Ckck, kabar apa pula
ini. “Sotoy! Nggak usah ngigau pagi-pagi!” aku meletakkan tasku di atas
meja. Mengeluarkan buku catatan dan perlatan tulisku. Beberapa mahasiswa sudah
mulai masuk. Menyapaku yang kubalas dengan lambaian tangan dan senyum. “Kok
sotoy sih? Kok ngigau sih? Iiiihhhhh! Tadi si Angga bilang sendiri kok kalo dia
nembak kamu,” rajuknya sembari menarik lenganku agar memperhatikannya. Rasanya
ingin sekali aku mencubit pipinya. “Emang burung ditembak,” aku tertawa. “Ngigau
kali si Angga. Lain kali kalo ketemu dia, bilang kalo mau ngigau tidur aja di
rumah, mimpi sana.” Entah sudah yang ke berapa kalinya beredar gosip seperti
ini. Dan anehnya Dinda selalu saja percaya. Dinda...
Dinda.. Kamu tahu bagaimana hatiku
saat ini. Dan seharusnya kamu paham bahwa usaha mereka semua tak akan berhasil.
Sejak kapan? Sejak ...
Aku menaiki angkot yang berhenti di depanku. Duduk di pojok
belakang dan memandang keluar jendela. Menghindari tatapan orang-orang.
Memperhatikan setiap mobil yang melwati angkot yang sedan kunaiki.
Memperhatikan setiap motor yang melaju entah kencang, zig-zag. Aku berusaha
mengingat sesuatu. Atau mungkin melupakan sesuatu. Bukan. Bukan sesuatu, tapi semua hal yang pernah terjadi di jalanan ini. “Neng,
turun mana?” aku menoleh, “Saya ikut Bapak berputar aja sampai nanti tujuan
terminal akhir, Pak.” Si Bapak bingung. Tapi tetap melajukan kendaraannya. Aku
kembali terpekur memandang jalanan. Mengusap setetes air yang ada di pipi.
Sejak kapan? Sejak...
Aku duduk diam di
depan laptopku. Tanganku memegang mouse, scroll up-down jendela pada laptop.
Membacanya berulang-ulang. Tak percaya. Membacanya lagi. Sakit. Marah. Kecewa.
Tanganku mengarahkan kursor ke kotak ‘reply’. Klik. Aku mengetikan beberapa
kata. Menghapusnya. Mengetik lagi. Terus. Terus. Banyak pertanyaan di kolom
jawaban itu. Banyak tuntutan. Aku membacanya sekali lagi. Meyakinkan diriku
lagi. Lalu kutekan ‘send’. Aku berdiri,
berjalan ke tempat tidur. Aku merebahkan diriku. Merasakan sesak yang tiba-tiba
kambuh. Aku menarik nafas, mengatur nafasku. Perlahan. Kurasakan mataku penuh
tapi tak ada yang tumpah. Aku mengulang-ulang lagi setiap kata yang kuingat, Aku
akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku.
Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku.
Sejak kapan? Sejak ...
“Tunggu ya... Aku akan wujudkan semua mimpi kamu, Sayang.
Mimpi kita. Tunggu aku... Akan aku selesaikan semua yang ada di sini. Baik-baik
ya kamu di sana. Cuman kamu yang bisa menenangkan aku. Love you, Dira sayang,”
aku masih menempelkan teleopn selulerku lekat di telinga, aku tersenyum. “Iyaaaa.
Baik-baik juga ya di sana. Semangat yaaa.. Love you, too, Beb,” aku menekan
tombol merah, mengakhiri percakapan. Aku menarik nafas dalam. Mimpi itu... Aku tersenyum.
Sejak saat itu aku tahu...
“Dinda, please, jangan menatapku seperti itu,” aku memohon
pada Dinda yang mencoba berjalan menjauh. Dia masih menatapku dengan pandangan
takut, tak percaya, kecewa, entahlah. “Please, Din... Aku juga nggak bermaksud
membuatmu takut. Sungguh. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang sebenarnya aku
rasakan. Aku pun tak pernah menginginkan hal ini. Tapi aku tak mampu
mengontrolnya, Din. Aku hanya ingin bilang bahwa aku mencintaimu. Cukup!” aku
mencoba mendekat. Tapi Dinda memberikan isyarat padaku untuk berhenti. Aku
berhenti. Dinda, maafin aku. “Dir, aku
bingung. Sungguh. Kamu teman baikku. Aku tak mungkin mencintaimu seperti pacar.
Kita sama-sama perempuan, Dir!” dan Dinda pun berjalan semakin jauh.