Berharap Dia menghapuskan segala rasa yang tak tepat ini... Menggantikannya dengan rasa yang sesuai.
Berharap Dia mampu memberikan kekuatan yang membuatku mampu bertahan dan tak berpaling pada rasa yang telah hilang...
Berharap...semoga...ada yang terbaik...
I just want to pause whatever I am doing for one minute, everyday, and remember death! It will happen to me and all of us one day, I ask myself am I ready to meet my Lord, Allah, the Almighty? What have I prepared and sent forth?
Selasa, 21 Mei 2013
Kamis, 02 Mei 2013
Keputusan Ku
"Apa yang kamu tunggu?" tanyanya, yang selalu ku hormati. "Kalo kamu emang niat, ya sudahlah tak usah kamu memikirkan tentang keluarga atopun yang lainnya," tambahnya.
"Lalu, apa dong yang harus saya utamakan?" balasku.
"Ya agamanya lah!" jawabnya lugas.
"Lah kalo saya nya enggak sreg sama dia, masa' harus ddilanjutkan?!" bantahku.
"Tidak sreg bagaimana? Coba jelaskan!" kejarnya lagi.
"Yaaa tidak nyaman saat sama dia, tidak bisa jadi diri saya sendiri, tidak bisa berbicara apapun, hanya diam dan mendengarkan dia!" jelasku.
"Itukan baru pertama kali, ya wajar lah!" paksanya.
Sampai disini sebenarnya aku sudah tak ingin melanjutkan pembicaraan lagi. Pasti akan percuma saja. Beliau tetap menekanku untuk menerima dia. Tapi aku tetap harus jelaskan alsanku, biar aku tak disalahkan terus.
"Bukan yang pertama kali! Ini sudah yang kesekian kali saya bertemu dengan dia dan setiap pertemuan selalu sama!" aku menggambil jeda bernafas. "Dan saya tidak mungkin melanjutkan sesuatu yang dari awal saja sudah tidak bisa saya jalani dengan tulus. Mana mungkin saya bisa mengabdi pada dia sedangkan untuk berbicara saja saya enggan!" setelah itu hanya sunyi.
Tak ada percakapan apapun setelahnya, hanya suara tv yang masih mengisi ruangan itu. Suasana menjadi sangat canggung dan aku tak lagi betah berlama-lama. Ku putuskan untuk pulang setelahnya.
Hingga saat ini aku masih mengingat jelas perkataannya. Ayah, begitu aku menganggap beliau. Tapi ayah bukan bapakku. Bapakku telah bersama-Nya. Ayah adalah inspirasiku pada bidang yang kutekuni saat ini. Ayah yang mengajariku tentang belajar yang sesungguhnya. Dan ayah yang memperkenalkan dia padaku.
Sesampai ku dirumah, aku terus memikirkan omongan ayah. Aku tetap tak pernah setuju dengan ayah. Bagiku sebuah pernikahan tidak hanya antara aku dan calon suamiku, tapi pernikahan bagiku haruslah menyatukan dua keluarga. Keluargaku dan keluarga suamiku. Jika salah satu tak bisa menerima bagaimana keluarga yang kita jalani kelak akan penuh dengan barokah... Maka keluarga tetap harus dipertimbangkan!
Rasa tak nyaman yang kurasakan... Bagaimana mungkin aku mengabaikannya. Siapa coba yang mau menjalani kehidupan berdua dengan seseorang seumur hidup dengan setengah hati? Bukankah jika semuanya dijalani dengan setengah hati berujung pada ketidak tulusan? Bagiku hanya kenyamanan dan restu keluarga poin utamanya. Jika aku bisa merasa tenang padanya, dan dia mampu membuatku nyaman bersamanya, untuk apa pula aku menolaknya...
Ini bukan yang pertama bagiku. Akupun tidak sekedar menolak dan tak ingin melanjutkan hubbungan ini ke jenjang yang lebih serius. Apa kurangnya dia? Dia mapan dengan jaminan pekerjaan yang tak diragukan, postur daan wajah yang tak bisa dibilang jelek tp juga tak ganteng. Tapi itu semua bukan patokan utamaku. Aku bahkan sudah meminta petunjuk pada-Nya tentang hatiku. Dan jika ini adalah jawabannya apa aku harus menuliskan yang lain pada hidupku?...
Kini, aku sungguh hanya ingin meminta maafnya, Ayah dan siapaun yang merasa terluka dan kecewa dengan keputusanku. Aku sudah memutuskannya,dan aku ingin membuka hatiku kembali untuk yang lain.
Kamu, jodohku, dimanapun kamu saat ini, aku percaya bahwa kelak kita akan bertemu... Aku menunggumu.
"Lalu, apa dong yang harus saya utamakan?" balasku.
"Ya agamanya lah!" jawabnya lugas.
"Lah kalo saya nya enggak sreg sama dia, masa' harus ddilanjutkan?!" bantahku.
"Tidak sreg bagaimana? Coba jelaskan!" kejarnya lagi.
"Yaaa tidak nyaman saat sama dia, tidak bisa jadi diri saya sendiri, tidak bisa berbicara apapun, hanya diam dan mendengarkan dia!" jelasku.
"Itukan baru pertama kali, ya wajar lah!" paksanya.
Sampai disini sebenarnya aku sudah tak ingin melanjutkan pembicaraan lagi. Pasti akan percuma saja. Beliau tetap menekanku untuk menerima dia. Tapi aku tetap harus jelaskan alsanku, biar aku tak disalahkan terus.
"Bukan yang pertama kali! Ini sudah yang kesekian kali saya bertemu dengan dia dan setiap pertemuan selalu sama!" aku menggambil jeda bernafas. "Dan saya tidak mungkin melanjutkan sesuatu yang dari awal saja sudah tidak bisa saya jalani dengan tulus. Mana mungkin saya bisa mengabdi pada dia sedangkan untuk berbicara saja saya enggan!" setelah itu hanya sunyi.
Tak ada percakapan apapun setelahnya, hanya suara tv yang masih mengisi ruangan itu. Suasana menjadi sangat canggung dan aku tak lagi betah berlama-lama. Ku putuskan untuk pulang setelahnya.
Hingga saat ini aku masih mengingat jelas perkataannya. Ayah, begitu aku menganggap beliau. Tapi ayah bukan bapakku. Bapakku telah bersama-Nya. Ayah adalah inspirasiku pada bidang yang kutekuni saat ini. Ayah yang mengajariku tentang belajar yang sesungguhnya. Dan ayah yang memperkenalkan dia padaku.
Sesampai ku dirumah, aku terus memikirkan omongan ayah. Aku tetap tak pernah setuju dengan ayah. Bagiku sebuah pernikahan tidak hanya antara aku dan calon suamiku, tapi pernikahan bagiku haruslah menyatukan dua keluarga. Keluargaku dan keluarga suamiku. Jika salah satu tak bisa menerima bagaimana keluarga yang kita jalani kelak akan penuh dengan barokah... Maka keluarga tetap harus dipertimbangkan!
Rasa tak nyaman yang kurasakan... Bagaimana mungkin aku mengabaikannya. Siapa coba yang mau menjalani kehidupan berdua dengan seseorang seumur hidup dengan setengah hati? Bukankah jika semuanya dijalani dengan setengah hati berujung pada ketidak tulusan? Bagiku hanya kenyamanan dan restu keluarga poin utamanya. Jika aku bisa merasa tenang padanya, dan dia mampu membuatku nyaman bersamanya, untuk apa pula aku menolaknya...
Ini bukan yang pertama bagiku. Akupun tidak sekedar menolak dan tak ingin melanjutkan hubbungan ini ke jenjang yang lebih serius. Apa kurangnya dia? Dia mapan dengan jaminan pekerjaan yang tak diragukan, postur daan wajah yang tak bisa dibilang jelek tp juga tak ganteng. Tapi itu semua bukan patokan utamaku. Aku bahkan sudah meminta petunjuk pada-Nya tentang hatiku. Dan jika ini adalah jawabannya apa aku harus menuliskan yang lain pada hidupku?...
Kini, aku sungguh hanya ingin meminta maafnya, Ayah dan siapaun yang merasa terluka dan kecewa dengan keputusanku. Aku sudah memutuskannya,dan aku ingin membuka hatiku kembali untuk yang lain.
Kamu, jodohku, dimanapun kamu saat ini, aku percaya bahwa kelak kita akan bertemu... Aku menunggumu.
Langganan:
Postingan (Atom)