Mukaku memerah. Keringat bercucuran. Mulutku menutup rapat. Bukan sekedar menutup, tapi berusaha menahan geraman. Tanganku terkepal. Aku berjalan dengan langkah-langka lebar begitu aku keluar dari ruanganku setelah menerima telpon dari kantor pusat, tak sekalipun menoleh. Aku hanya sempat berhenti sejenak, melihat beberapa orang yang kini tertawa di ujung tangga. Namun aku segera berbalik, mengambil jalan lain.
"Bah!!! Apa pula yang mereka lakukan di sana?! Terbahak pula! Pingin kali aku bunuh mereka! Biar tak ada lagi suara tawa itu!" Aku merutuk sambil terus berjalan. Selama sebulan ini, aku tak pernah sekalipun tertawa. Tekanan pekerjaan membuatku merasa hakku semakin tertindas. Namun aku bisa apa. Aku hanya kacung di sini, hanya pribumi. Mana punya hak aku untuk membantah. Meski aku sudah merasa begitu bosan dengan muka penjilat para petinggi itu namun aku tak mampu mendepak mereka keluar. Susah!
***
Aku melirik sekilas ke meja di balik jendela kaca itu. Ada seseorang duduk disana. Aku menarik nafas, menyiapkan diri dan telinga pastinya. Aku mengetuk pintu ruangan itu beberapa kali. Lalu membukanya perlahan.
"Silakan duduk," ucap perempuan kecil dengan garis muka keras itu. "Mana laporan Anda selama enam bulan ini?" Dia berkata tanpa pendahuluan.
"Ini, Bu. Itu laporan 3 bulan awal. Kurang yang 3 bulan terakhir." Aku menyerahkan segepok laporan pertanggungjawabanku sebagai koordinator.
"Kok hanya 3 bulan? Yang 3 bulan lainnya mana? Harusnya kan sudah selesai semua. Ini sudah satu bulan lebih loh dari deadline awal!" Perempuan itu melihatku tepat di matanya. Bibirnya tersenyum. Sayangnya aku tau di balik senyum itu ada amarah yang tertahan.
***
"Ayolah, Pak, mana laporan mingguan Anda? Ini sudah deadline. Saya kan harus merekap dan mengecek ulang. Kalau Anda tidak setorkan laporan itu segera, mana bisalah saya mengerjakan laporan bulanan." Tagihku untuk kesekian kali.
"Iya, sebentar ya. Banyak sekali kerjaan saya. Saya mesti menemani bos besar berkeliling. Saya belum sempat. Tapi tenang saja, atasan Anda tak akan menagihnya. Karena pekerjaan dia pun sama menumpuknya. Dia pasti lupa." Lelaki itu selalu berkelit. Bosan sungguh aku mendengar alasannya. Apa dia pikir yang punya kerjaan banyak hanya dia?!
"Saya tidak mau tahu. Yang pasti Anda harus sudah menyerahkan laporan itu awal bulan depan. Jika tidak, maka akan saya serahkan laporan itu apa adanya." Aku berjalan meninggalkan kantor lelaki keras kepala dan seenaknya sendiri itu.
***
"Maaf, jika Anda menuntut saya bisa menyelesaikan laporan ini tepat waktu dan sempurna, sebaiknya Anda belajar mengendalikan lelaki kesayangan Anda yang sedang tertawa bersama wanita-wanita kroninya di ujung tangga sana." Aku berjalan keluar, meninggalkan wanita itu dengan rasa sakitnya. Aku meliriknya sekilas, melihat wanita itu memegang dada kirinya. Aku tersenyum, senang.
Aku menutup pintu, ruangan itu. Berjalan ke arah tangga dimana aku melihat lelaki dan beberapa wanita yang tawanya masih terdegar samar. Aku hanya ingin menyapa mereka sekali. Foto itu masih utuh dalam genggamanku.