Kabut itu menghalangi pandanganku. Memperlambat perjalanan ini. Namun tetap aku melangkahkan kakiku perlahan. Mencoba menapaki jalan yang berbatu. Kabut ini hanya sekedar selimut dingin, yang terkadang membuatku semakin segar. Aku menyambutmu halimun, dalam dekapku. Seperti gunung itu yang serupa ibu yang kini merentangkan kedua tangannya. Menyambut kehadiranku.
Perjalanan ini adalah sebuah pembuktian akan mimpiku. Iya ini mimpi. Mimpi yang selalu ada di dalam tidurku, bahkan mimpi dalam tiap sadarku. Bukan sekedar perjalanan raga. Tapi ini perjalanan jiwa. Jiwaku yang tertatih mengejar jiwamu yang tak pernah lelah berkelana menemui beragam jiwa. Bahkan saat ini jiwaku belum mampu menemukanmu kembali. Kamu seperti hilang di antara ribuan jiwa yang melayang dalam kabut pekat gunung di hadapanku.
Gunung itu semakin jelas. Semakin tak sabar aku untuk mencapai puncak. Sama tak sabarnya dengan diriku yang semakin tergesa dalam tiap derap kaki ini. Jantungku berdegup kencang. Keringat menetes perlahan menyusuri pipiku. Tapi lihatlah, bibirku bahkan tak sedikitpun mengurangi lengkungnya. Tetap tersenyum.
Ah, akhirnya puncak itu tinggal sekali tanjakan kaki. Kakiku menjejak kuat. Tanganku mencoba menggapai ujung tanah itu. Mencoba mencari sosok itu, si pemilik jiwa yang ku rindu. Lalu tiba-tiba saja terdengar gemuruh, hingga tak ku sadari aku sudah terpelanting jatuh. Kepalaku membentur keras. Aku mencoba membuka mataku dan aku tertegun. Bukan bongkahan batu ataupun serpihan pasir yang kulihat. Tapi hamparan lantai putih. Aku mengusap keningku yang ternyata membentur lantai keramik kamarku. Bukuku terlempar ke bawah kursi. Rupanya bunyi gemuruh itu tadi adalah bunyi kipas di kamarku yang mulai tertempeli debu.
Aaaahhh...itu tadi mimpi. Mimpi yang entah sudah keberapa kalinya dan selalu gagal di ujung cerita. Aku belum menemukan siapa sosok yang selalu hadir di mimpi itu. Yang aku yakini adalah aku bahagia meski hanya melihatnya lewat mimpi, lewat bayang jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar