Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu
“Ragil, Bapak berangkat dulu ya…”, pamitnya ketika aku sedang asik bermain di tetangga sebelah. Aku segera menggamit tangan Bapak dan menciumnya. Tapi aku tak melepaskan tanggan Bapak, aku menatapnya.
“Pak, aku kok nggak sekolah? Itu Mbak Dee sekolah,” aku menunjuk ke arah teman main ku yang tinggal di seberang rumah.
Bapak dengan kalem menjawab, “Ragil main aja dulu sepuasnya, nanti kalau sudah puas baru Ragil sekolah.” Bapak membelai kepalaku sayang seraya mengucapkan kalimat tadi. Lalu mencium keningku dan menyuruhku kembali bermain. Bapak tak pernah menjelaskan padaku bahwa Bapak telah mempersiapkanku untuk menjadi yang terbaik. Bapak lalu menaiki motornya dan menyalakannya. Dan tak pernah lupa, Bapak selalu melambaikan tangannya dan tersenyum sebelum melaju bersama motor vespa kesayangannya. Aku? Aku kembali asik bermain di tetangga ku.
Bapak begitu mencintai dan memanjakanku. Setidaknya itu yang dikatakan oleh orang-orang disekitar kita. Dan aku pun merasakannya. Bapak selalu menuruti apa yang aku minta. Meski kadang tertunda, tetapi selalu dipenuhinya. Bapak tak pernah pergi sendirian, selalu denganku. Tanpa ibuk. Inilah yang kadang membuat ibuk cemburu. Bapak lebih memilih mengajakku daripada Ibuk untuk urusan jalan-jalan. Bapak tak pernah meninggalkanku, bahkan ketika bekerja pun, saat ada waktu luang dan tidak terlalu banyak pekerjaan Bapak pasti mengajakku. Oh ya, Bapak adalah seorang guru SD di pelosok desa. Sekolah Bapak saat itu cukup jauh dari rumah, kurang lebih 15km.
Bapak adalah lelaki paling hangat dan tenang yang aku kenal (secara aku kan masih kecil dan belum kenal siapa-siapa!). Bapak selalu melindungiku, bahkan dari sekedar gigitan nyamuk. Tahukah kalian bahwa Bapak lah yang selalu mengantarkan, bahkan menemaniku tidur. Ketika ada nyamuk yang menggigit bagian tubuhku maka Bapaklah yang akan menggosok bagian tubuh, entah kaki atau tanganku, sampai aku tak merasa gatal dan tertidur. Gosokan dan belaiannya lah yang nantinya akan selalu kurindukan.
Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak
“Pak, aku boleh nggak ikut beladiri? Aku besok sabtu ada latihan perdana di kota dan harus menginap disana…” ucapku dari atas sepeda sepulang dari mengaji.
“Nggak usah ikut! Lagian perempuan kok ikut silat segala, pakai menginap lagi!” sahut ibuk sengit yang memang dari dulu tidak pernah setuju aku bergabung di ekstra beladiri. Tapi sekali lagi, Bapak lah yang memberikanku izin. “Ikut aja kalau memang Ragil suka. Hitung-hitung buat jaga diri dan olahraga. Bapak dulu waktu muda juga pernah ikut beladiri kok. Malah Bapak dulu sempat jadi ketuanya loh,” cerita Bapak waktu itu. Dan kini pun, saat akuminta izin Bapak pula yang mengizinkan, “Ya sudah, berangkat saja,” sahut Bapak padakku. “Sudah sana masuk terus ganti baju.” Saat aku melangkahkan kaki ke rumah, kudengar Bapak bicara pada Ibuk, “sudah, biarkan saja dia, selagi masih ada kesempatan. Biar dia berkembang dan punya banyak teman.” Aku tersenyum dalam langkahku. Yes!!! Bapak memang yang paling mengerti aku.
Begitulah Bapak. Bapak selalu mendukungku, apapun itu kecuali hal-hal yang tidak berguna. Mungkin cenderung over protective yang wajar mengingat aku satu-satunya anak perempuannya dan anak terakhir pula. Pernah aku sedikit ngambek ketika aku minta izin buat ikut tetanggaku ke Surabaya dan tidak disetujui. Aku kecewa dengan Bapak waktu itu. Aku merasa Bapak tak sayang lagi padaku. Tetapi pelan-pelan Bapak menjelaskan alasannya. Bapak bilang, “buat apa ke Surabaya kalo cuman sekedar jalan-jalan tak tentu. Malah capek nanti. Mending di rumah saja sama Bapak, nanti kita beli es krim”. Dan Bapak selalu berhasil meluluhkan hatiku.
Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuh maumu
“Pak, lihat deh orang yang ada di TV itu. Ganteng deh. Dia pakai jas dan dasi. Terlihat begitu gagah…” celotehku ketika kami menonton acara di TV sore itu. Bapakku hanya diam dan tersenyum. “Pak, aku pengen deh lihat Bapak pakai pakaian seperti lelaki itu. Bapak pasti ganteng dan gagah. Bapak mau nggak?” lanjutku. Bapak mengalihkan pandangannya, lalu melingkarkan tangannya di pundakku. “Ehmmm, mau. Tapi nggak sekarang ya…”, ucapnya lalu mencium keningku. Kenyamanan yang sangat aku nikmati. “Terus kapan?”, kejarku. “Nanti, kalau kakak-kakakmu menikah atau kelak ketika Ragil lulus kuliah dan diwisuda. Bapak pasti akan pakai pakaian seperti yang dipakai orang itu”, telunjuk Bapak mengarah ke TV.
Waktu itu aku menghitung, berapa tahun lagi aku bisa melihat Bapak ku dengan pakaian yang terlihat gagah. Aku akan kuliah dan lulus lalu wisuda. Aku tersenyum dan berangan-angan waktu itu. Ah…tepatnya bermimpi dan mulai merencanakan masa depanku. Demi Bapak dan senyumnya yang menenangkan.
Tahun lalu, mataku memanas ketika aku ada di dalam bangsal bersama ratusan wisudawan yang lain. Aku mengingatnya… mengingat Bapakku… Aku berusaha sekuat tenaga untuk tak menangis, aku tak ingin membuat ibuk dan kakakku menangis juga. Tapi tetap, satu dua tetes air itu mendesak keluar. Aku menggenggam erat tangan ibuk dan kakakku yang berdiri disamping kanan kiriku. Melangkah beriringan menuju podium menerima penghargaan Lulusan Terbaik dari para petinggi universitas ku. Puluhan mata memandang ku, dan pandanganku mengabur. Air ini sungguh menganggu! Aku kan ingin terlihat bagus di depan orang banyak! Ah siaaaall!! Umpatku. Tapi aku toh tetap saja membiarkannya menghalangi pandanganku. Aku kangen Bapak. Pak…lihat! Aku penuhi janjiku. Aku wisuda sekarang. Bapak dimana? Katanya mau datang dan memakai pakaian orang kaya itu? Mana? Kan Bapaak udah janji… Aku mau lihat Bapak. Aku kangen Bapak. Aku telan semua kata-kata itu dalam hati saja. Aku tetap tersenyum. Dan aku tahu Bapak disana tersenyum, dengan pakaian itu. Memandaangku dan mengirimkan ketenangan yang kurindukan.
Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati
Sekarang, ketika aku sudah mampu berdiri sendiri di atas kaki ku, aku masih sangat jelas mengingat kenangan sekecil apapun dengan Bapak. Meski hanya 14 tahun aku bersamanya, tetapi Bapak memahat memori yang begitu indah. Tentang mimpi-mimpi dan keinginannya. Tentang janji-janji kita. Tentang cinta dan hidup kita.
Bapak mengajarkanku banyak hal. Bapak tak pernah ingkar. Bapak hanya tak mungkin menolak takdir. Bapak yang tenang. Bapak yang hangat. Bapak yang penyayang. Bapak yang….akan selalu aku cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar