“Engkau adalah puisi abadiku… yang tak mungkin kutemukan dalam buku…”
- Abdurahman Faiz -
Puisi Faiz diatas akan menjadi awalan ceritaku tentang Ibuk. Sudah banyak cerita indah tentang Ibuk. Bahkan juga cerita kelam tentang Ibuk. Bukan aku ingin meniru mereka semua dengan cerita Ibuk. Aku hanya ingin berbagi tentang Ibuk. Sosok penting dalam keluarga selain Ayah. Pilar kehidupan lain dalam sebuah rumah tangga.
“Ragiiiiiillllll!!!!” itu suara Ibuk yang selalu membangunkanku tiap pagi. Bukan belaian lembut dan suara merdu. Hanya teriakan yang memekakkan telinga sejujurnya. Ibuk yang sudah berkutat dengan segala perlatan dapur dan bahan masakan selepas selalu memanggilku dengan suara berintonasi tinggi. Dari dapur! Ingat! Memanggil dari dapur. Mencoba membangunkan anak gadis satu-satunya yang terkenal malas bangun pagi.
Aku, tentu saja masih berusaha menoleransi jam bangunku. “Ah…5 menit lagi aja…” bisik setan di telingaku yang ku jawab dengan anggukan kepala dan gerakan menarik selimut dan guling. Beberapa menit berselang… “RAGIIIIIIIIILLLL!!!” ah itu suara Ibuk lagi. Sudah harus bangun nih. Ibuk yaaa nggak bisa apa ya bangunin aku dengan suara yang lembut, dielus kek atau digoyang pelan gituh kayak di TV, rutukku dalam hati seraya berjalan ke kamar mandi.
Tapi tahukah kalian bahwa intonasi dan nada suara Ibuk adalah sesuatu selalu akan kurindukan kala Ibuk tak ada. Kenapa? Karena itu suara Ibukku! Setiap Ibuk itu berbeda. Ibuk ku tak sama dengan ibu, mama, mami, bunda, atau emak orang lain. Ibuk ku belum tentu bisa merendahkan intonasi suaranya seperti ibu-ibu yang lain. Belum tentu bisa bersikap lembut dan mengungkapkan ekspresi cintanya dengan memeluk erat anaknya. Ibu-ibu yang lain pun belum tentu bisa “berteriak” seperti Ibukku kan… Belum tentu bisa menjaga ku dan merawatku hingga seperti saat ini.
Apapun dan bagaimanapun karakter ibu kita yakinlah bahwa apa yang mereka lakukan adalah ekspresi cinta mereka kepada anak-anaknya. Bahwa ditiap hati seorang ibu ada rasa cinta dan kasih sayang yang tak bisa terhapuskan. Entah rasa yang terlalu besar hingga menjadikan ibu kita super atau bahkan over protective dan melarang kita ini-itu. Atau rasa yang tak terlalu besar yang tak bisa pula terungkapkan hingga sering membuat anak berfikir bahwa ibu mereka tak menyayangi mereka.
Aku yakin Ibuk menyayangi aku dengan cara yang Ibuk tahu, dengan teriakan-teriakan dan tingkat kecerewetan yang tinggi. Begitu pula aku yang hanya mampu menyayangi Ibuk dalam diam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar