I just want to pause whatever I am doing for one minute, everyday, and remember death! It will happen to me and all of us one day, I ask myself am I ready to meet my Lord, Allah, the Almighty? What have I prepared and sent forth?

Selasa, 07 Januari 2014

PUNGGUNG



Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan bergegas mandi. Memakai pakaian seperti rutinitas harianku. Tak ada yang mencolok. Aku membuatnya sewajar mungkin. Tidak menunjukkan bahwa aku tergesa. Mungkin nanti akan sedikit telat, pikirku. Segera ku sampaikan berita itu padamu yang sudah menanti di sana sejak adzan subuh berkumandang. Ku lirik sekali lagi pergelangan tanganku, pas! Ini waktunya pergi. Kucium tangan wanita yang penuh perjuangan itu, “Berangkat dulu ya, Bu. Tapi nanti aku nggak pulang. Ada kegiatan. Assalamu’alaikum”. Tak ingin kudengar gerutuan yang semakin memperlambatku, segera saja ku nyalakan mesin motorku. Kutunggu sebentar, biar tidak terkesan biasa. Lalu ku pacu si Purpy dengan kecepatan yang lumayan setelah berjarak 300 meter dari rumahku. Aman… Dan aku tersenyum.

It’s my first time and I don’t know the way to get there! Just gambling! Aku hanya mengingatnya sekilas dari panduan dari orang-orang yang ku tanya kemarin. Lurus saja, ikuti jalan itu sampai ada bunderan, jangan berputar. Lurus sampai kau temukan jembatan layar. Telat! Aku sudah terlanjur berputar! “Siaaaalll!!!” umpatku. Semakin lama aku menemuimu! Ku pacu lebih cepat hingga terlewat belokan ke tempatmu menantiku. Rasanya sudah hamper meledak. “Nyasar lagi!” masih dengan rasa tak sabar kucari tempat untuk berputar. Tak lama kutemukan dan langsung ku geber gas motorku. Kamu bilang menungguku di warung.  Ku cari tak ketemu. “Mas, dimana kamu?” kutelpon saja biar cepat. Tak lama kulihat kamu melambaikan tanganmu. Kamu memakai kaos hitam dari salah salah satu band indie favoritmu. “Mas Anto?”  tanyaku mengulurkan tangan. “Iya. Ria nggak makan dulu?” tanyanya sambil membalas salam kenalku. Kugelengkan kepala lalu kuserahkan helm yang sudah kusiapkan, “Nanti saja. Sudah siang. Lebih cepat lebih baik.”

Kini kami berjalan santai saja. Dia mengambil alih kemudi si purpy. Aku duduk dibelakang sebagai penunjuk arah yang sebenarnya juga tak paham arah. Adrenalin ku sudah mulai normal, tak lagi terpacu seperti tadi pagi. Tak ada rasa takut sedikitpun meski aku baru bertemu denganmu pagi ini. Kamu masih saja mentertawakanku yang datang menemuimu memakai seragam kerjaku. “Yeee, aku kabur dari rumah demikamu, Mas” bantahku. Aku pura-pura berangkat kerja seperti biasa, dengan seragam lengkap agar ibuku tak curiga. Karena beliau takkan mungkin menizinkanku pergi bersamamu, lelaki yang baru ku kenal.
Selama perjalanan kita menuju kota itu, aku hanya menatap ke satu arah. Aku menatap ke depan, ke punggungmu yang begitu bidang. Ada rasa nyaman disitu. Ada rasa aman yang terhampar. Namun aku tahu punggung itu bukan untuk kusandari atau kurengkuh. Bukan untuk saat ini setidaknya. Aku menjaga jarak agar tak lebih jauh, bahkan aku sengaja mendekat hanya untuk satu maksud. Jika tiba-tiba saja kau menerabas lubang dan jalanan yang tak rata, maka aku akan dengan mudah memukul punggungmu.

Ya, hanya itu maksudku. Aku ingin mendekat ke punggungmu bukan agar aku bisa menyadarkan kepaku di punggung bidangmu. Tapi aku hanya ingin memukulmu ringan saat kamu mulai membuatku terguncang. Lalu kau akan tertawa. Tawa itu yang selalu kurindukan.  Tawa itu yang selalu kunanti. Tawa mu yang khas yang akan selalu mengingatkanku pada punggungmu yang selalu siap untuk kusandari dan kupukul pastinya.

FF ini diikutkan dalam program Lelang Buku Bayar Karya dengan judul "Punggung" berhadiah buku #Pindah di grup WA Love Books A Lot ID.