I just want to pause whatever I am doing for one minute, everyday, and remember death! It will happen to me and all of us one day, I ask myself am I ready to meet my Lord, Allah, the Almighty? What have I prepared and sent forth?

Jumat, 30 Mei 2014

Jumatulis #11 Bunuh-Tekanan-Tindas-Bosan-Tertawa ~ Tertekan

Mukaku memerah. Keringat bercucuran. Mulutku menutup rapat. Bukan sekedar menutup, tapi berusaha menahan geraman. Tanganku terkepal. Aku berjalan dengan langkah-langka lebar begitu aku keluar dari ruanganku setelah menerima telpon dari kantor pusat, tak sekalipun menoleh. Aku hanya sempat berhenti sejenak, melihat beberapa orang yang kini tertawa di ujung tangga. Namun aku segera berbalik, mengambil jalan lain.
"Bah!!! Apa pula yang mereka lakukan di sana?! Terbahak pula! Pingin kali aku bunuh mereka! Biar tak ada lagi suara tawa itu!" Aku merutuk sambil terus berjalan. Selama sebulan ini, aku tak pernah sekalipun tertawa. Tekanan pekerjaan membuatku merasa hakku semakin tertindas. Namun aku bisa apa. Aku hanya kacung di sini, hanya pribumi. Mana punya hak aku untuk membantah. Meski aku sudah merasa begitu bosan dengan muka penjilat para petinggi itu namun aku tak mampu mendepak mereka keluar. Susah!

***

Aku melirik sekilas ke meja di balik jendela kaca itu. Ada seseorang duduk disana. Aku menarik nafas, menyiapkan diri dan telinga pastinya. Aku mengetuk pintu ruangan itu beberapa kali. Lalu membukanya perlahan.
"Silakan duduk," ucap perempuan kecil dengan garis muka keras itu. "Mana laporan Anda selama enam bulan ini?" Dia berkata tanpa pendahuluan.

"Ini, Bu. Itu laporan 3 bulan awal. Kurang yang 3 bulan terakhir." Aku menyerahkan segepok laporan pertanggungjawabanku sebagai koordinator.

"Kok hanya 3 bulan? Yang 3 bulan lainnya mana? Harusnya kan sudah selesai semua. Ini sudah satu bulan lebih loh dari deadline awal!" Perempuan itu melihatku tepat di matanya. Bibirnya tersenyum. Sayangnya aku tau di balik senyum itu ada amarah yang tertahan.

***

"Ayolah, Pak, mana laporan mingguan Anda? Ini sudah deadline. Saya kan harus merekap dan mengecek ulang. Kalau Anda tidak setorkan laporan itu segera, mana bisalah saya mengerjakan laporan bulanan." Tagihku untuk kesekian kali.

"Iya, sebentar ya. Banyak sekali kerjaan saya. Saya mesti menemani bos besar berkeliling. Saya belum sempat. Tapi tenang saja, atasan Anda tak akan menagihnya. Karena pekerjaan dia pun sama menumpuknya. Dia pasti lupa." Lelaki itu selalu berkelit. Bosan sungguh aku mendengar alasannya. Apa dia pikir yang punya kerjaan banyak hanya dia?!

"Saya tidak mau tahu. Yang pasti Anda harus sudah menyerahkan laporan itu awal bulan depan. Jika tidak, maka akan saya serahkan laporan itu apa adanya." Aku berjalan meninggalkan kantor lelaki keras kepala dan seenaknya sendiri itu.

***

"Maaf, jika Anda menuntut saya bisa menyelesaikan laporan ini tepat waktu dan sempurna, sebaiknya Anda belajar mengendalikan lelaki kesayangan Anda yang sedang tertawa bersama wanita-wanita kroninya di ujung tangga sana." Aku berjalan keluar, meninggalkan wanita itu dengan rasa sakitnya. Aku meliriknya sekilas, melihat wanita itu memegang dada kirinya. Aku tersenyum, senang.

Aku menutup pintu, ruangan itu. Berjalan ke arah tangga dimana aku melihat lelaki dan beberapa wanita yang tawanya masih terdegar samar. Aku hanya ingin menyapa mereka sekali. Foto itu masih utuh dalam genggamanku.

Jumat, 23 Mei 2014

Jumatulis #10 Gunung-Buku-Kipas-Jalan-Kabut ~ Perjalanan Jiwa

Kabut itu menghalangi pandanganku. Memperlambat perjalanan ini. Namun tetap aku melangkahkan kakiku perlahan. Mencoba menapaki jalan yang berbatu. Kabut ini hanya sekedar selimut dingin, yang terkadang membuatku semakin segar. Aku menyambutmu halimun, dalam dekapku. Seperti gunung itu yang serupa ibu yang kini merentangkan kedua tangannya. Menyambut kehadiranku.

Perjalanan ini adalah sebuah pembuktian akan mimpiku. Iya ini mimpi. Mimpi yang selalu ada di dalam tidurku, bahkan mimpi dalam tiap sadarku. Bukan sekedar perjalanan raga. Tapi ini perjalanan jiwa. Jiwaku yang tertatih mengejar jiwamu yang tak pernah lelah berkelana menemui beragam jiwa. Bahkan saat ini jiwaku belum mampu menemukanmu kembali. Kamu seperti hilang di antara ribuan jiwa yang melayang dalam kabut pekat gunung di hadapanku.

Gunung itu semakin jelas. Semakin tak sabar aku untuk mencapai puncak. Sama tak sabarnya dengan diriku yang semakin tergesa dalam tiap derap kaki ini. Jantungku berdegup kencang. Keringat menetes perlahan menyusuri pipiku. Tapi lihatlah, bibirku bahkan tak sedikitpun mengurangi lengkungnya. Tetap tersenyum.

Ah, akhirnya puncak itu tinggal sekali tanjakan kaki. Kakiku menjejak kuat. Tanganku mencoba menggapai ujung tanah itu. Mencoba mencari sosok itu, si pemilik jiwa yang ku rindu. Lalu tiba-tiba saja terdengar gemuruh, hingga tak ku sadari aku sudah terpelanting jatuh. Kepalaku membentur keras. Aku mencoba membuka mataku dan aku tertegun. Bukan bongkahan batu ataupun serpihan pasir yang kulihat. Tapi hamparan lantai putih. Aku mengusap keningku yang ternyata membentur lantai keramik kamarku. Bukuku terlempar ke bawah kursi. Rupanya bunyi gemuruh itu tadi adalah bunyi kipas di kamarku yang mulai tertempeli debu.

Aaaahhh...itu tadi mimpi. Mimpi yang entah sudah keberapa kalinya dan selalu gagal di ujung cerita. Aku belum menemukan siapa sosok yang selalu hadir di mimpi itu. Yang aku yakini adalah aku bahagia meski hanya melihatnya lewat mimpi, lewat bayang jiwanya.

Jumat, 16 Mei 2014

Jumatulis #9 Jembatan-Kayu-Foto-Ransel-Stoples ~ Binar Mata

Aku melihatnya. Berjalan perlahan meniti jembatan kayu kecil ini. Sambil sesekali tersenyum. Senyum ceria sambil menatap lelaki yang berdiri di tengah-tengah jembatan. Sesekali terdengar bunyi klak-klik dari benda silver kecil yang selalu dibawanya. Begitu lampu blitz menyala beberapa kali menerpaku, dia akan tertawa.
"Berapa lama lagi, Sayang? Aku udah capek banget nih. Kurang berapa sih?" Teriak si lelaki yang peluhnya sudah menetes, membasahi hampir seluruh kemeja merahnya.
Tak ada jawaban, hanya gerakan ringan si gadis yang melirik tangan kirinya. Lalu dia mengedipkan matanya dan kembali tersenyum.

Tak ada yang aneh dari dia. Gadis berbadan mungil yang manis. Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung yang mungil. Matanya indah, selalu berbinar. Mata yang membuatnya menyukai semua orang dengan binar mata yang sama. Bibirnya selalu tersenyum, tipis dan memerah. Kemanapun dia pergi, tak pernah ia meninggalkan tas ransel kanvasnya. Bahkan dia pun tak pernah meletakkan atau menitipkan ranselnya yang penuh.

Matahari memerah di langit barat. Menciptakan semburat kuning dan jingga, indah dan menenangkan. "Waktunya tiba," gumam si gadis. Dia perlahan mendekati lelaki yang mulai sudah terduduk bersimbah peluh. Begitu dia sudah berdiri di depanku, si lelaki pun seketika mendekapku dari belakang. "Tenang ya gadis manis," bisik lelaki itu di telingaku. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi mulutku tak lagi mampu bergerak. Aku menatap gadis yang kini berjongkok di depanku. Mengeluarkan satu album foto besar, lalu menempelkan satu fotoku yang sudah dia ambil beberapa hari yang lalu pada lembar terakhir. Lalu dia mengeluarkan pisau dan pinset serta satu mangkuk stainless. Kemudian dia mengeluarkan satu stoples sedang yang membuatku terpaku, pasrah.

Hal terakhir yang kulihat sebelum aku mati rasa adalah seringainya saat menancapkan pipet itu di lengan atasku. Lalu aku masih sempat merasakan dinginnya stainless pipih menyentuh kelopak mataku sebelum akhirnya aku terlempar ke dasar sungai dengan meninggalkan bola mataku beberapa menit setelah pengaruh anastesi itu hilang. Mungkin kini bola mataku sedang berdesakan di dalam stoples yang berisi cairan bening dan telah sesak dengan puluhan bola mata. Sedangkan aku tak lagi mampu merasakan beban badanku, aku melayang ringan, menatap lelaki dan gadis itu. Mendengarkan sekilas percakapan mereka.

"Makasih ya, Sayaaang. Aku bahagia sekali! Sebentar lagi hanya aku yang akan mempunyai binar mata yang indah dikota ini!" Ucap si gadis sesaat setelah ia menempelkan stiker bertuliskan "ALBUM 5" dan "STOPLES 5" pada album dan stoppes yang kini ia masukkan kembali ke dalam ranselnya. Lalu melipat kumpulan stiker album dan stoples yang tersisa cukup banyak.

Jumat, 09 Mei 2014

Jumatulis #8 Manis-Cookies-Lollipop-Cupcakes-Ice Cream - Kesukaanku

Aku nggak suka manis. Bagiku manis itu selalu bikin eneg. Iyaaa bikin mual banget. Apalagi kalo terlalu banyak. Sama halnya ketika melihat orang bersikap terlalu manis. Sudah pasti bikin muak juga kan yaaaa. Memang muak dan mual nggak beda jauh kok. Beda di huruf akhirnya saja. Udah aaahhh... Bahas makanan aja yuuukkk ;-)

Tapi entah kenapa, memang dari dulu, aku memang tidak terlalu suka dengan makanan yang manis-manis. Contohnya: gudeg! :-! Tiap aku ke Jogja tak pernah aku makan gudeg! :-$ Begitu juga dengan cupcakes. Kue kecil imut seukuran cangkir kopi ini begitu populer. Menggiurkan siiihhh kalo melihat topping-nya yang lucu-lucu dan imut-imut itu. Tapi aku bahkan tidak mampu menghabiskan satu kue saja!

Dibandingkan dengan kue cangkir itu, mungkin aku lebih memilih cookies alias kue kering. Karena cookies itu bervariasi rasanya. Jadi aku bisa memilih yang tidak begitu legit. Dan porsinya juga kecil-kecil. Jadi bisa menyesuaikan dengan kondisi perut.

Tapi aku suka dengan lollipop! Asyik aja kalo lagi sendirian, nunggu orang, nunggu antrian atau dalam perjalanan ditemani dengan lollipop. Berasa nggak nganggur aja gituh... Hihihihi. Sama, ice creaaammm! Meskipun nggak sering juga mnikmati jenis es yang biiin addict ini. Tapi sekalinya ada di depan mata, rasanya pengen nambah aja gituh... Tapi aku sukanya yang coklat atau fruty-tasted gituh. Manis-manis asem, jadi nggak bikin eneg! ;-)

Hingga aku seusia sekarang, kalau sedang kumpul-kumpul dengan teman, yang biasanya wajib dinikmati adalah: ice cream and cookies! Perpaduan yang pas untuk aku dan teman-teman yang pas pula jika bersama. O:-)

Jumat, 02 Mei 2014

Jumatulis #7 Kubur-Khutbah-Fajar-Gema-Dara - Moment Sakral

Panggil aku Ragil, karena begitulah dia memanggilku. Dia selalu mengenalkanku sebagai Ragil-nya, dara kecilnya yang selalu dia ajak kemanapun dia pergi. Ragil, si bungsu, satu-satunya dara setelah dua jejaka kebanggaannya.

Seperti biasa, hari itu dia memanasi mesin mobilnya pagi-pagi. Membersihkannya hingga terlihat mengkilap. Disela-sela aktifitas minggu paginya, dia tersenyum pada setiap tetangga yang lewat depan rumah. Kadang, satu-dua tetangga mengobrol sedikit, bertanya ini itu lalu kembali pada aktifitas masing-masing. Setelah mesin mobil cukup lama dipanasi, dia kembali masuk ke rumah. Melepas kaosnya dan berjalan ke kamar mandi.

"Bapak, berangkat dulu ya, Sayang," ucapnya sambil mengecupku yang masih setia dengan kaos singlet dan belek pada ujung mata. Aku menyalami tangannya, menciumnya, lalu melambaikan tanganku ketika dia telah berada di balik kemudi. Ke arah barat, ke kabupaten sebelah, ke pasar hewan mingguan.

Kulewati hari minggu itu dengan bermain di rumah tetangga. Di sanalah tempat aku biasa melakukan berbagai aktifitas sampai bapak pulang. Siang itu, bapak kembali ke rumah pukul dua. Dia memarkir mobil pick-up putih yang masih menyisakan titik-titik air di beberapa sisi. Aku tersenyum, menghampirinya dan dia dengan sigap memelukku lalu menciumku. Di dalam rumah kulihat ibu ku menuju dapur, mengambil gelas es besar. Memasukkan beberapa sendok.makan gula, lalu menuangkan teh yang sudah dijerang sedari pagi. Mengaduknya dengan cepat sambil menoleh ke arah bapak, lalu memasukkan beberapa bongkah kecil es batu.

"Bapak, jadi ke rumah bibi ndak?" Kubangunkan bapak setelah ashar. Tadi dia minta dibangunkan setelah ashar. Dia membalikkan badannya. Mukanya pucat. Masih lelah sepertinya. "Oh iya. Ibu sudah siap?" Bapak menoleh ke pintu, terlihat masih sepi. Belum ada aktifitas kecuali dari arah belakang, terdengar bunyi air yang mengisi bak mandi. Tak berapa lama, dia bangkit, mengambil handuknya.

Bertiga kami memasuki rumah yang luas itu. Terlihat beberapa lelaki sedang berbincang di ruang tamu. Ada beberapa gelas dengan cairan hitam di dalamnya. Dan terlihat kepulan asap dari batang yang ada di antara jari tengah dan telunjuk beberapa lelaki itu. Kami melintasi mereka setelah bersalaman dengan mereka. Lalu masuk ke dapur. Di sana ada beberapa perempuan yang sedang melipat daun.pisang yang di dalamnya ada adonan putih dengan butiran hijau. Ada pula yang memindahkan jajanan yang dibungkus daun pisang itu, mereka menyebutnya nagasari, dari dalam dandang, alat kukus tradisional, yang masih mengepul asapnya. Sesekali mereka mengibaskan tangannya dan meniup-niup tangannya.

Bapakku langsung duduk di samping tampah yang penuh dengan nagasari yang masih basah itu. Mengambil dan membuka bungkus daunnya. Dia menggigit ujung kue itu lalu manggut-manggut. Tak berapa lama, dia mengambil satu lagi. Aku hanya kemandangnya. Lalu berlari keluar.

Dia menghampiriku, menarikku ke tetangga depan rumah bibi. Ada pikulan semacam angkringan di depan rumah itu. Bapak memesan dua mangkok. Aku memegang semangkuk penuh potongan lontong dengan kuah kuning dan potongan-potongan kikil dan ditaburi daun bawang dan bawang goreng serta perasan jeruk nipis. Kulihat bapakku sudah penuh peluh. Mulutnya mengunyah dengan lahap. Aku tersenyum.

***
Gema takbir terdengar dari dalam kamar. Kulirik jam waker di sebelah bantalku, ah...sudah pukul 4 rupanya. Aku menaiki tangga satu per satu, kubuka pintu teras depan lantai atas, menarik handukku. Aku menarik nafas panjang. Menikmati udara fajar 1Syawal. Ada tetes air dari sudut mata.

Kugandeng ibuku berjalan bersama kerumunan orang berpakaian putih yang rapi dan wangi. Berjalan mendekati lapangan tempat kami akan merayakan hari raya ini. Sambil mengumandangkan takbir, kami menunggu sholat dua raka'at dan khutbah hari raya kali ini. Jantungku.berdegub, terasa sesak. Kupalingkan muka ku dari ibuku. Sesekali kuusap sudut mataku, sekilas saja.

Sesampainya di rumah, kucium takzim tangan wanita di depanku ini. Ada sesak di dada. Ada yang menetes di pipiku dan pipi wanita kesayangan kami. Mulut kami sama-sama melantunkan doa, lamat-lamat. Kuselipkan maaf pada dia yang tengah terbaring nyaman dalam kubur.