I just want to pause whatever I am doing for one minute, everyday, and remember death! It will happen to me and all of us one day, I ask myself am I ready to meet my Lord, Allah, the Almighty? What have I prepared and sent forth?

Minggu, 15 Juni 2014

Sayangku Tak Mengenal Amarah

Semenjak awal aku berusaha keras untuk menjadi tempat kamu untuk pulang. Sangat keras. Aku bahkan mengorbankan tempat pulangku sendiri. Demi kamu. Demi bahagiamu. Demi tawamu. Demi bisa membelai kepalamu dan mengatakan aku sayang kamu.

Bukankah aku pernah bilang bahwa rasa sayangku tak kenal amarah? Seberapa besar kesalahan dan kekecewaan yang kamu beri, seberapa banyak pun kamu melakukannya, aku akan kembali menyerah pada rasa sayang ini. Aku akan menyerah pada rasa sayangku untuk kamu.

Ingatkah kamu ketika janji yang pernah kita ucap untuk saling memeluk dan menggenggam tangan masing-masing di sudut kota indah itu? Aku menantimu bagai orang gila! Aku melanggar janjiku untuk kamu, aku pergi untuk kamu. Sayang aku hanya tujuan kedua buat kamu. Sedangkan kala itu, aku jadikan kamu yang utama dan pertama. Yang terpenting!

Aku kecewa!

Lalu, kamu ragukan aku di saat aku menanti kepulanganmu. Yang aku dapatkan adalah ketidakacuhanmu. Sakit rasanya ketika di lain sisi kamu bilang sayang tapi di sisi lain kamu menganggap aku tak ada.

Aku kecewa!

Ketika kamu kembali, aku menyerah. Aku tak mungkin menolakmu. Tak akan pernah mampu! Kenapa? Karena rasa sayangku tak mengenal dendam.

Sayang, kecewaku sempat membawaku pada satu kesalahan. Mengabaikan kepercayaanmu, dan membuatmu sakit. Maaf, itu memang murni kesalahanku! Aku akui itu.

Dan kamu berlari semakin jauh. Tanpa pernah menoleh ke belakang, ke arahku yang masih menantimu kembali meski itu mustahil. Kamu menganggapku tak pernah ada. Sama sekali tak pernah hadir di hidupmu. Tak berbekas. Sayangnya, sayangku terlanjur menjalar tak terkendali...

Kamu mampu memaafkan temanmu tapi tidak denganku. Mungkin sejak awal kamu memang tak menganggapku layak untuk dekat denganmu seperti orang yang kmu anggap temanmu. Tak layak untuk memperoleh kesempatan lain lagi. Sama sepertimu, awalnya pun aku menganggapmu bukan siapa-siapa. Tapi yang berbeda adalah aku menjadikanmu seseorang yang tak akan pernah aku lupakan dan tolak kehadirannya sampai kapanpun. Karena sayangku tak mengenal amarah.

Jumat, 13 Juni 2014

Jumatulis #13 Ikan-Senja-Terumbu-Diversifikasi-Rumput laut ~ Aku Pernah Ada di Sana

Apa yang ada di otakku hanyalah ingatan tentang seberkas sinar pudar matahari yang hampir tenggelam di senja itu. Aku terduduk diam menatap gulungan ombak dan mendengar suara deburannya. Bergemuruh. Aku melumat rumput laut yang ada di genggamanku. Kemudian memendamnya dalam-dalam pada butiran pasir. Aku menyadari bahwa aku kini masih bersembunyi, seperti ikan yang berenang di antara celah terumbu karang agar tak terlihat nelayan yang akan menjualnya pada pengusaha. Pengusaha yang tak pernah peduli pada kelestariannya demi diversifikasi produk hasil laut perusahaannya. Dan aku bersembunyi dari kenyataan yang pahit ini.

Seminggu yang lalu aku berlari meninggalkan kerumunan itu. Membiarkan pipiku basah. Mengacuhkan nyeri pada tumit. Menulikan diri dari suara yang memanggil-manggilku. Segera aku lambaikan tangan ketika kulihat ada taksi. Aku bergegas naik sebelum orang itu mencapaiku. Aku meminta supir itu mengantarku ke tempat ini.

Tak ada yang spesial dari tempat ini. Hanya ada hamparan pasir yang tak putih yang begitu luas. Berdampingan dengan lautan dengan ombak yang tak kecil. Ada kesan mistis di sini, di pantai ini. Tapi entah kenapa aku bisa duduk seharian tanpa melakukan apapun. Hanya memandang matahari yang mengintip malu di balik awan saat fajar tiba hingga ia kembali menyelinap pergi untuk memenuhi tugasnya di belahan lain bumi. Aku tak perlu makan ataupun minum. Aku hanya ingin diam.

Aku tak beranjak selama dua hari. Hanya duduk di tempat yang sama hingga pagi di hari ketiga aku tertarik merasakan dingin air yang melimpah itu. Aku berdiri, mencoba berjalan. Tertatih. Perlahan. Menghampiri air asin itu. Aku terus berjalan. Aku ternyata tak puas hanya merasakan air itu di kakiku. Aku ingin merasakannya menyelimuti tubuhku. Aku terus berjalan lagi. Ada dingin yang menyerang tubuhku. Tapi itu sungguh sensasi yang menyenangkan. Ah, sepertinya akan menyenangkan kalau air ini membungkus kepalaku. Mungkin aku akan mampu menghilangkan kenangannya yang betah bertahan di sana. Lalu aku membenamkannya dalam. Dan semua gelap!

Dan kini, aku kembali duduk di sini. Dengan rasa yang semakin tak terdefinisikan.

Jumat, 06 Juni 2014

Jumatulis #12 Panen-Lumpur-Keringat-Burung-Kemarau ~ Tertekan: Kita

Jika para petani punya masa panen padi atau tanaman lainnya, maka aku pun sedang panen. Iya. Aku memanen kecaman! Itu kata mereka, orang-orang yang berjalan tegap dengan seragam cokelat yang selalu mengantongi senjata itu. Mereka membuatku semakin terlihat sebagai orang yang berkubang lumpur. Lumpur dosa tepatnya. Mereka menatapku, mencaciku yang kini dituntun si seragam cokelat di antara kerumunan penuh keringat ke sebuah ruangan di ujung sana. Si seragam cokelat bilang kalau nanti, setelah aku keluar dari ruangan itu, aku sudah pasti akan dibawa ke ruangan lain yang akan aku tempati selama beberapa musim kemarau. Ruangan terbuka dengan besi-besi yang berjajar rapat seperti sangkar burung. Tapi sayangnya di dalamnya isinya manusia bukan burung.

***

Siang itu, setelah aku berjalan keluar dari ruangan Beti, begitu aku memanggilnya, aku berjalan menghampiri lelaki tambun yang sedang asyik bercumbu di tangga darurat kantor. Dengan tergesa, semua wanita yang sedang mengelilingnya langsung pergi setelah melihatku. Lelaki itu langsung diam, memandangku. Mencoba mengubah ekspresi mukanya yang memerah.

"Semua itu sudah aku perlihatkan pada wanitamu!" Aku mengangsurkan foto yang kubawa tadi. Lalu aku berjalan pergi tanpa menunggu reaksinya. Dari jauh aku sempat mendengarnya berujar marah, "Kamu?!" Lalu terdengar derap langkahnya yang berlari. Aku terus berjalan, memasukkan tangan kiriku ke saku celana, mengambil sebuah tabung plastik kecil. Mengocoknya, mendengar suara butiran-butiran yang saling berbenturan. Lalu melemparnya ke tempat sampah terdekat. Ada lengkung dalam di bibirku saat samar aku mendengar jeritan beberapa orang yang berlarian ke atas. Tak lagi menggunakan mesin kotak yang bergerak lambat.

***

Aku terduduk sendirian di tengah ruangan ini. Ada tiga orang yang memakai jubah hitam duduk di depanku. Ada beberapa orang di belakang. Semuanya terdiam, kadang berbisik lirih. Aku hanya mendengar gumaman tanpa kata yang jelas. Mungkin mereka berbicara dengan sangat lirih. Ada satu orang yang menekan tuts sebuah mesin dengan bunyik tik-tok-tak-kreeekk. Ada beberapa orang lagi di sebelah kanan dan kiri. Tak satupun yang aku kenal. Aku hanya diam. Memandang ke depan.

***

Aku keluar gedung masih dengan senyuman itu. Berjalan ke jalan raya lalu menyetop taksi, meminta supirnya segera memacu gasnya menuju ke sebuah alamat. Tak lama, 15 menit aku telah turun di sebuah rumah tipe 36 di sebuah perumahan yang belum begitu ramai. Aku mengeluarkan sebuah kunci dan membuka pintunya. Aahhh lega sekali sudah berada di rumah ini.

Tak pernah ada yang tahu tentang rumah ini. Aku membelinya sejak beberapa tahun yang lalu. Tak mengisinya dengan perabotan apapun. Hanya kebutuhan sehari-hari. Di sini aku menghabiskan waktunya dengan dia.

Dia, satu-satunya yang tahu tentang rumah ini. Karena di sinilah rahasia kita bertebaran. Ada hari-hari penuh canda di rumah ini. Ada malam-malam yang membara, ada siang-siang yang melenakan bahkan ada pagi-pagi penuh pillow talks.

Seringkali aku dan dia mencuri waktu di antara berkas-berkas kantor yang bertumpuk. Atau mengambil sedikit jeda di antara rapat-rapat. Jika beruntung, akan ada malam hingga pagi yang kita lewatkan bersama ketika kami seharusnya berada di luar kota.

"Beti, harusnya kita bisa bercanda saat ini." Aku meringkuk di atas ranjang kami.

***