I just want to pause whatever I am doing for one minute, everyday, and remember death! It will happen to me and all of us one day, I ask myself am I ready to meet my Lord, Allah, the Almighty? What have I prepared and sent forth?

Jumat, 06 Juni 2014

Jumatulis #12 Panen-Lumpur-Keringat-Burung-Kemarau ~ Tertekan: Kita

Jika para petani punya masa panen padi atau tanaman lainnya, maka aku pun sedang panen. Iya. Aku memanen kecaman! Itu kata mereka, orang-orang yang berjalan tegap dengan seragam cokelat yang selalu mengantongi senjata itu. Mereka membuatku semakin terlihat sebagai orang yang berkubang lumpur. Lumpur dosa tepatnya. Mereka menatapku, mencaciku yang kini dituntun si seragam cokelat di antara kerumunan penuh keringat ke sebuah ruangan di ujung sana. Si seragam cokelat bilang kalau nanti, setelah aku keluar dari ruangan itu, aku sudah pasti akan dibawa ke ruangan lain yang akan aku tempati selama beberapa musim kemarau. Ruangan terbuka dengan besi-besi yang berjajar rapat seperti sangkar burung. Tapi sayangnya di dalamnya isinya manusia bukan burung.

***

Siang itu, setelah aku berjalan keluar dari ruangan Beti, begitu aku memanggilnya, aku berjalan menghampiri lelaki tambun yang sedang asyik bercumbu di tangga darurat kantor. Dengan tergesa, semua wanita yang sedang mengelilingnya langsung pergi setelah melihatku. Lelaki itu langsung diam, memandangku. Mencoba mengubah ekspresi mukanya yang memerah.

"Semua itu sudah aku perlihatkan pada wanitamu!" Aku mengangsurkan foto yang kubawa tadi. Lalu aku berjalan pergi tanpa menunggu reaksinya. Dari jauh aku sempat mendengarnya berujar marah, "Kamu?!" Lalu terdengar derap langkahnya yang berlari. Aku terus berjalan, memasukkan tangan kiriku ke saku celana, mengambil sebuah tabung plastik kecil. Mengocoknya, mendengar suara butiran-butiran yang saling berbenturan. Lalu melemparnya ke tempat sampah terdekat. Ada lengkung dalam di bibirku saat samar aku mendengar jeritan beberapa orang yang berlarian ke atas. Tak lagi menggunakan mesin kotak yang bergerak lambat.

***

Aku terduduk sendirian di tengah ruangan ini. Ada tiga orang yang memakai jubah hitam duduk di depanku. Ada beberapa orang di belakang. Semuanya terdiam, kadang berbisik lirih. Aku hanya mendengar gumaman tanpa kata yang jelas. Mungkin mereka berbicara dengan sangat lirih. Ada satu orang yang menekan tuts sebuah mesin dengan bunyik tik-tok-tak-kreeekk. Ada beberapa orang lagi di sebelah kanan dan kiri. Tak satupun yang aku kenal. Aku hanya diam. Memandang ke depan.

***

Aku keluar gedung masih dengan senyuman itu. Berjalan ke jalan raya lalu menyetop taksi, meminta supirnya segera memacu gasnya menuju ke sebuah alamat. Tak lama, 15 menit aku telah turun di sebuah rumah tipe 36 di sebuah perumahan yang belum begitu ramai. Aku mengeluarkan sebuah kunci dan membuka pintunya. Aahhh lega sekali sudah berada di rumah ini.

Tak pernah ada yang tahu tentang rumah ini. Aku membelinya sejak beberapa tahun yang lalu. Tak mengisinya dengan perabotan apapun. Hanya kebutuhan sehari-hari. Di sini aku menghabiskan waktunya dengan dia.

Dia, satu-satunya yang tahu tentang rumah ini. Karena di sinilah rahasia kita bertebaran. Ada hari-hari penuh canda di rumah ini. Ada malam-malam yang membara, ada siang-siang yang melenakan bahkan ada pagi-pagi penuh pillow talks.

Seringkali aku dan dia mencuri waktu di antara berkas-berkas kantor yang bertumpuk. Atau mengambil sedikit jeda di antara rapat-rapat. Jika beruntung, akan ada malam hingga pagi yang kita lewatkan bersama ketika kami seharusnya berada di luar kota.

"Beti, harusnya kita bisa bercanda saat ini." Aku meringkuk di atas ranjang kami.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar