I just want to pause whatever I am doing for one minute, everyday, and remember death! It will happen to me and all of us one day, I ask myself am I ready to meet my Lord, Allah, the Almighty? What have I prepared and sent forth?

Selasa, 24 Maret 2015

Sejak...


Sejak kapan? Sejak ...
“Dir, liat deh tuh cowok. Cakep banget ya?” Dinda menunjuk pada satu anak ekonomi yang sedang duduk-duduk di tangga sambil memperhatikan telepon genggamnya. Memang sih dia ganteng, tapi ya kan banyak juga di sini yang ganteng. So, what?
“Hmmm... Biasa aja sih!” aku kembali menunduk, melanjutkan bacaanku yang tertunda sedangkan Dinda masih saja senyam-senyum sendiri sambil menatap lelaki itu dari jauh. Aku diam saja. Sayang, aku memang tak sama dengan Dinda.

Sejak kapan? Sejak ...
“Diraaaaaa!!!” kutoleh asal suara itu. Ada Dinda yang berjalan tergesa ke arahku. “Dir, kok kamu nggak bilang-bilang sih? Gitu yaaa sekarang pake rahasia-rahasiaan.” Aku diam, takjub, tergtegun, bingung. Tak ada rahasia kecuali satu hal... “Rahasia apaan?” aku kembali berjalan ke kelas. Ku lihat pergelangan tanganku. 10 menit lagi. “Kamu pacaran kan sama Angga?” Dinda mendahuluiku masuk ke kelas begitu sampai di ruang 305, mengambil posisi duduk di baris kedua sebelah kanan, dekat jendela.
Ckck, kabar apa pula ini. “Sotoy! Nggak usah ngigau pagi-pagi!” aku meletakkan tasku di atas meja. Mengeluarkan buku catatan dan perlatan tulisku. Beberapa mahasiswa sudah mulai masuk. Menyapaku yang kubalas dengan lambaian tangan dan senyum. “Kok sotoy sih? Kok ngigau sih? Iiiihhhhh! Tadi si Angga bilang sendiri kok kalo dia nembak kamu,” rajuknya sembari menarik lenganku agar memperhatikannya. Rasanya ingin sekali aku mencubit pipinya. “Emang burung ditembak,” aku tertawa. “Ngigau kali si Angga. Lain kali kalo ketemu dia, bilang kalo mau ngigau tidur aja di rumah, mimpi sana.” Entah sudah yang ke berapa kalinya beredar gosip seperti ini. Dan anehnya Dinda selalu saja percaya. Dinda... Dinda.. Kamu tahu bagaimana hatiku saat ini. Dan seharusnya kamu paham bahwa usaha mereka semua tak akan berhasil.

Sejak kapan? Sejak ...
Aku menaiki angkot yang berhenti di depanku. Duduk di pojok belakang dan memandang keluar jendela. Menghindari tatapan orang-orang. Memperhatikan setiap mobil yang melwati angkot yang sedan kunaiki. Memperhatikan setiap motor yang melaju entah kencang, zig-zag. Aku berusaha mengingat sesuatu. Atau mungkin melupakan sesuatu. Bukan. Bukan sesuatu, tapi  semua hal yang pernah terjadi di jalanan ini. “Neng, turun mana?” aku menoleh, “Saya ikut Bapak berputar aja sampai nanti tujuan terminal akhir, Pak.” Si Bapak bingung. Tapi tetap melajukan kendaraannya. Aku kembali terpekur memandang jalanan. Mengusap setetes air yang ada di pipi.

Sejak kapan? Sejak...
 Aku duduk diam di depan laptopku. Tanganku memegang mouse, scroll up-down jendela pada laptop. Membacanya berulang-ulang. Tak percaya. Membacanya lagi. Sakit. Marah. Kecewa. Tanganku mengarahkan kursor ke kotak ‘reply’. Klik. Aku mengetikan beberapa kata. Menghapusnya. Mengetik lagi. Terus. Terus. Banyak pertanyaan di kolom jawaban itu. Banyak tuntutan. Aku membacanya sekali lagi. Meyakinkan diriku lagi. Lalu kutekan ‘send’.  Aku berdiri, berjalan ke tempat tidur. Aku merebahkan diriku. Merasakan sesak yang tiba-tiba kambuh. Aku menarik nafas, mengatur nafasku. Perlahan. Kurasakan mataku penuh tapi tak ada yang tumpah. Aku mengulang-ulang lagi setiap kata yang kuingat, Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku. Aku akan pergi. Lupakan aku.

Sejak kapan? Sejak ...
“Tunggu ya... Aku akan wujudkan semua mimpi kamu, Sayang. Mimpi kita. Tunggu aku... Akan aku selesaikan semua yang ada di sini. Baik-baik ya kamu di sana. Cuman kamu yang bisa menenangkan aku. Love you, Dira sayang,” aku masih menempelkan teleopn selulerku lekat di telinga, aku tersenyum. “Iyaaaa. Baik-baik juga ya di sana. Semangat yaaa.. Love you, too, Beb,” aku menekan tombol merah, mengakhiri percakapan. Aku menarik nafas dalam. Mimpi itu... Aku tersenyum.

Sejak saat itu aku tahu...
“Dinda, please, jangan menatapku seperti itu,” aku memohon pada Dinda yang mencoba berjalan menjauh. Dia masih menatapku dengan pandangan takut, tak percaya, kecewa, entahlah. “Please, Din... Aku juga nggak bermaksud membuatmu takut. Sungguh. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku pun tak pernah menginginkan hal ini. Tapi aku tak mampu mengontrolnya, Din. Aku hanya ingin bilang bahwa aku mencintaimu. Cukup!” aku mencoba mendekat. Tapi Dinda memberikan isyarat padaku untuk berhenti. Aku berhenti. Dinda, maafin aku. “Dir, aku bingung. Sungguh. Kamu teman baikku. Aku tak mungkin mencintaimu seperti pacar. Kita sama-sama perempuan, Dir!” dan Dinda pun berjalan semakin jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar